Hari ini, Senin (13/5/2019), tepat setahun teror bom di Surabaya. Trauma, luka, duka masih ada. Namun, para penyintas tidak mau menyerah apalagi kalah. Mereka melawan dengan keadaban, cinta, dan kemanusiaan.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA, AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
”Kita lawan Bu. Kita lawan, kita lawan,” begitu kata-kata yang keluar dari mulut Kepala Kepolisian Resor Surabaya Komisaris Besar Rudi Setiawan. Sambil memeluk Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di depan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jalan Arjuna, Minggu (13/5/2018), dia juga menangis.
Ibu Risma baru tiba di lokasi ketiga peledakan bom pada hari itu setelah bertemu Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud, 9-10 Mei 2018. Sebenarnya Rudi, kini Wakil Kepala Polisi Daerah Lampung, juga ikut Wali Kota Risma ke Mekkah. Namun, dia izin pulang sehari lebih cepat dari rombongan. Kepada Kompas, Rudi sempat berbisik, ”Saya minta izin sama ibu wali kota pulang lebih dulu. Dorongan segera kembali begitu kuat,” katanya, dengan mata berkaca-kaca.
Semestinya, Ibu Risma dijadwalkan tiba di Surabaya paling lambat Minggu pukul 13.00 WIB. Sejam kemudian, ia akan membuka Festival Rujak Uleg dalam rangka Hari Jadi Ke-725 Kota Surabaya di kawasan Kembang Jepun.
Saya minta izin sama ibu wali kota pulang lebih dulu. Dorongan segera kembali begitu kuat.
Festival itu akhirnya batal. Hari yang seharusnya ceria dinodai tindakan memalukan. Mulai pukul 07.30 WIB, bom diledakkan di tiga gereja secara beruntun. Mulai dari Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela (SMTB) di Jalan Ngagel, Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro, dan terakhir GPPS di Jalan Arjuna. Di GPPS, pelaku teridentifikasi adalah Dita Oepriyanto (48). Bom menempel di tubuhnya.
Belakangan diketahui, Dita yang tinggal di Kecamatan Rungkut merupakan bagian jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Dia melibatkan istrinya, Puji Kuswati (43), dan keempat anaknya, yakni FR (9), FS (12), FH (16), dan Yusuf Fadhil (18). Semuanya terlibat bom bunuh diri di tiga gereja itu.
Baca Juga: Doa untuk Korban Bom Surabaya
Teror bom di tiga gereja kemudian disusul kejadian di Polrestabes Surabaya, Senin (14/5/2018) pagi. Dua hari berturut-turut, Surabaya dihujam teror bom. Dari rangkaian peristiwa pengeboman di Kota Surabaya, total 28 orang tewas. Terdiri dari 18 warga dan 10 pelaku. Sedikitnya 40 orang terluka dan dirawat di beberapa rumah sakit.
Begitu bom pertama meledak, Risma dan rombongan, yang sudah berada di Bandara Soekarno-Hatta, bergegas menuju Surabaya. Kompas sempat mengontak Risma. Namun, dia terdengar terburu-buru saat mengangkat teleponnya.
”Sik, sik, aku sudah di jalan, sebentar lagi tiba di Surabaya. Ini sudah di Jakarta,” kata Risma dan buru-buru menutup telepon selulernya.
Sekitar dua jam kemudian, Risma tiba Surabaya. Sepanjang perjalanan dari satu lokasi pengeboman ke lokasi lainnya, dia diangkut mobil patroli satuan polisi pamong praja agar bisa menerobos ke tiga gereja. Jarak antargereja sekitar 3 kilometer.
Risma tak hanya sepanjang hari keluar masuk rumah sakit mengunjungi korban luka karena bom. Perempuan pertama Wali Kota Surabaya ini juga memantau dan bertemu langsung dengan pengurus gereja. Tanpa kenal lelah, sepanjang hari ada saja yang dilakukan Risma untuk segera memulihkan trauma warga Surabaya.
Ibu dua anak ini juga keliling kota menggunakan mobil patroli satpol PP, dua hari pertama setelah bom. Melalui pengeras suara, dia meminta warga Surabaya tidak bergerombol di tempat-tempat tertentu.
”Ayo, arek Suroboyo, tetap beraktivitas. Jangan takut. Keamanan seluruh kota ini sangat terjaga,” begitu Risma, memompa kepercayaan diri warga.
Sejak peristiwa bom itu, kegiatan dia juga semakin padat. Sejak pagi mengunjungi korban yang masih dirawat, keliling semua gereja di Surabaya dan mengumpulkan ketua RT dan RW per kecamatan di malam hari. Belum lagi, dia menyapa warga Surabaya sekaligus membuktikan bahwa kota ini benar-benar aman, dengan berbuka puasa dari satu pusat perbelanjaan ke pusat perbelanjaan lain.
Dalam sepekan, kota berpenduduk 3,2 juta jiwa, mampu ”berjalan” setelah sempat lumpuh. Kecemasan dan ketakutan di sekolah-sekolah di dekat lokasi teror bom yang diliburkan beberapa hari mulai berganti dengan keceriaan siswa-siswi.
Hari ini, tepat setahun teror bom itu terjadi. Duka pasti masih ada. Namun, seperti umat dan jemaat gereja korban teror bom, semua warga Indonesia tak boleh tunduk atau kalah dengan teror.
Pagi ini, di Gereja SMTB, kerukunan itu meraja. Kegiatan ziarah ke makam korban teror bom, doa bersama, dan kegiatan lintas agama, dilakukan penuh cinta.
Ketua Pelaksana Peringatan Satu Tahun Bom Surabaya Gereja SMTB Ping Teja mengatakan, di kalangan internal umat gereja Katolik itu juga diadakan doa rosario untuk keselamatan arwah korban.
Selain itu, intensi doa juga dibawa dalam misa kudus harian dan atau minggu. Selain itu, juga diadakan kegiatan lintas agama. Gereja Kristen Jawi Wetan mengadakan operet. Ada pula hadrah dari umat Islam. Selain itu, paduan suara dan tentunya doa bersama lintas agama.
Tentu harus ada perlawanan. Namun, bukan dengan tindakan biadab. Bukan mengulang aksi tanpa rasa kemanusiaan. Bukan juga dengan perilaku yang dihiasi dendam kesumat. Kebersamaan dan kerukunan antarumat beragama bisa jadi bentuk perlawanan paling ampuh yang harus terus hidup.