Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Maluku membentuk tim untuk menginvestigasi konflik antarwarga Desa Hualoy dan Desa Latu di Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, yang hingga kini masih berlanjut. Tujuannya, mendalami adanya dugaan pembiaran oleh aparat dan juga kepemilikan senjata api dari kedua belah pihak.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Maluku membentuk tim untuk menginvestigasi konflik antarwarga Desa Hualoy dan Desa Latu di Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, yang hingga kini masih berlanjut. Tujuannya, mendalami adanya dugaan pembiaran oleh aparat dan kepemilikan senjata api dari kedua belah pihak.
Ketua Komnas HAM Provinsi Maluku Benediktus Sarkol kepada Kompas di Ambon, Senin (13/5/2019), mengatakan, investigasi itu dilakukan menyusul munculnya sejumlah kejanggalan atas konflik dua desa yang telah berlangsung selama bertahun-tahun tersebut. ”Mengapa kasus hukum yang diminta untuk diselesaikan itu tidak bisa dilakukan oleh polisi? Ini ada apa?” ujarnya.
Menurut dia, salah satu penyebab terulangnya konflik kedua desa itu adalah aparat yang tidak berhasil menangkap oknum pemicunya. Seperti konflik yang kembali meletus pada Sabtu (4/5/2019), saat warga Hualoy dibunuh sekelompok warga yang diduga dari Latu. Pembunuhan itu diduga terkait kematian warga Latu saat konflik terbuka pada Februari 2019.
Pada konflik terbuka itu, selain seorang warga Latu meninggal, tiga warga lainnya terluka. Empat unit sekolah dan beberapa rumah di Hualoy juga dibakar. Sebelum konflik pecah, warga Latu sempat mendesak polisi untuk menangkap pelaku pengeroyokan yang diduga dilakukan oleh oknum warga Hualoy pada Januari 2019.
Benediktus mengatakan, jika penegakan hukum berjalan dengan baik, para korban akan merasakan keadilan. Namun, keluarga korban akan marah apabila melihat pelaku masih bebas berkeliaran. Saat hukum tidak ditegakan, mereka dikhawatirkan balas dendam dengan cara mereka sendiri.
”Akibatnya, korban rentan semakin bertambah. Dendam juga terus berlanjut,” ujarnya.
Konflik antardesa itu tak jarang menggunakan senjata api. Pada konflik Februari lalu, aparat menyita 42 bom molotov, 44 bom pipa, 2 pucuk senjata rakitan, dan 2 alat pelontar bom.
Selain itu, ditemukan juga tujuh anak panah, sebutir peluru standar kaliber 5,56 millimeter, serta sebilah parang. Selain itu, ada juga 122 liter campuran bensin dan minyak tanah untuk membuat bom molotov.
Konflik kedua desa tersebut juga menyebabkan akses Jalan Trans-Seram, yang menghubung Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian Timur, terganggu. Warga kerap melakukan blokade jalan menggunakan batu, potongan kayu, dan mengecor jalanan menggunakan beton setinggi hampir 1 meter. Akses logistik dari Ambon ke Pulau Seram melalui titik itu akhirnya lumpuh total.
Blokade jalan itu sebagai bentuk protes warga yang menilai aparat keamanan gagal menjaga keamanan daerah itu dan gagal menangkap oknum yang terlibat. Aparat keamanan dituduh membiarkan kondisi tidak aman tetap berlangsung.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, polisi sedang berusaha mencari para pelaku yang terlibat memicu konflik. Hingga Senin siang, polisi belum berhasil menangkap pelaku yang sudah diketahui identitasnya. Diduga, dia kabur ke dalam hutan.
Untuk sementara, polisi masih fokus menjaga keamanan dengan menyekat perbatasan kedua desa. Lebih dari 100 personel ditempatkan di sana untuk mencegah terjadinya bentrok susulan. Sementara blokade jalan sudah dibuka oleh masyarakat sendiri.
”Polisi masih terus berupaya. Keamanan dan kedamaian juga harus tumbuh dalam diri semua orang,” kata Roem.
Ekonomi terganggu
Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Polly Pical mengatakan, kondisi wilayah yang tidak aman, termasuk pemblokiran jalan, menyebabkan sejumlah kerugian ekonomi. Kegiatan jual beli di daerah itu sepi. Aktivitas di pelabunan pun lesu. Akses menuju destinasi wisata juga terputus.
Kabupaten Seram Bagian Barat merupakan salah satu wilayah penyangga di Pulau Seram. Perkonomian di daerah itu juga ditopang oleh sektor jasa dan perdagangan. ”Banyak pelaku ekonomi yang terpukul akibat konflik berkepanjangan seperti ini,” katanya.