Bale Mediasi NTB atau lembaga yang melaksanakan fungsi pembinaan dan koordinasi dalam pelaksanaan mediasi di masyarakat sesuai dengan kearifan lokal di Nusa Tenggara Barat mendorong diberlakukannya krama desa di desa atau kelurahan di provinsi tersebut. Keberadaan krama desa sebagai lembaga mediasi dinilai sangat penting untuk meredam konflik dan mengurangi perkara. Di sisi lain, krama desa juga menguntungkan masyarakat dibandingkan dengan proses ligitasi yang bisa membutuhkan waktu lama.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA/KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Bale Mediasi NTB atau lembaga yang melaksanakan fungsi pembinaan dan koordinasi dalam pelaksanaan mediasi di masyarakat sesuai dengan kearifan lokal di Nusa Tenggara Barat mendorong diberlakukannya krama desa di desa atau kelurahan di provinsi tersebut.
Keberadaan krama desa sebagai lembaga mediasi dinilai sangat penting untuk meredam konflik dan mengurangi perkara. Di sisi lain, krama desa juga menguntungkan masyarakat dibandingkan dengan proses ligitasi yang bisa membutuhkan waktu lama.
Ketua Bale Mediasi NTB Lalu Mariyun di Mataram, Senin (13/5/2019), mengatakan, Mahkamah Agung melalui Peraturan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memberikan keleluasaan kepada masyarakat luas untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di luar pengadilan dengan cara menempuh musyawarah mufakat (win-win solution). Manakala tercapai, kesepakatan kemudian dituangkan dalam bentuk tertulis, yang disebut kesepakatan perdamaian.
”Dalam sosialisasi di NTB pada akhir 2015, Mahkamah Agung menyampaikan bahwa latar belakang masyarakat diberi keleluasaan menyelesaikan sengketa di luar pengadilan adalah karena MA kewalahan tiap tahun. Semua kasus, termasuk yang sepele, masuk ke sana,” kata Mariyun.
Dalam sosialisasi di NTB pada akhir 2015, Mahkamah Agung menyampaikan bahwa latar belakang masyarakat diberikan keleluasaan menyelesaikan sengketa di luar pengadilan adalah karena MA kewalahan tiap tahun. Semua kasus, termasuk yang sepele, masuk ke sana.
Menurut Mariyun, di NTB, kearifan lokal yang sesuai dengan keinginan MA itu adalah krama desa. ”Krama desa telah ada sejak dulu. Lembaga adat tersebut dalam menangani kasus atau perkara warganya memiliki prosedur yang disebut hakim perdamaian desa,” katanya.
Ia menambahkan, hakim perdamaian desa juga diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hanya, keberadaannya dihapus oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan dan Acara-acara Pengadilan Sipil.
”Melalui undang-undang itu, kekuasaan dan kewenangan peradilan swapraja, peradilan kesunanan, dan peradilan adat dihapus. Kemudian diberikan menjadi kekuasaan pengadilan negeri,” ujar Mariyun.
Hanya saja, menurut dia, jika hakim perdamaian desa diberlakukan kembali, banyak keuntungan yang bisa didapat. ”Kalau ada di setiap desa, misalnya di NTB saja yang memiliki 1.146 desa dan kelurahan, jadi akan lebih dini meredam konflik yang ada. Dengan begitu, otomatis mengurangi orang yang berperkara,” lanjutnya.
Dalam penyelesaian perkara, katanya, hakim bisa langsung kepala desa atau lurah, didampingi tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama, termasuk di dalamnya polisi masyarakat.
”Jadi, kalau ada anggota atau warga desa yang bersengketa, baik perdata maupun pidana, mereka bertugas mendamaikan,” kata Mariyun.
Jika perdamaian tidak tercapai, proses hukum tetap bisa dilanjutkan hingga pengadilan. Namun, jika tercapai dan kedua pihak menghendaki kekuatan eksekutorial, bisa dibawa ke pengadilan untuk mengeluarkan putusan perdamaian.
”Tidak ada banding, tidak ada kasasi, apalagi peninjauan kembali. Jadi, tenaga, waktu, pikiran, bisa berkurang dan kasus berakhir bahagia. Akan sangat menguntungkan masyarakat dibandingkan proses ligitasi yang bertahun-tahun,” ucapnya.
Sudah mulai
Sekretaris Bale Mediasi NTB Nasri menambahkan, NTB sudah mulai mendorong hal itu dengan menerbitkan Peraturan Daerah NTB Nomor 9 Tahun 2018 tentang Bale Mediasi.
Menurut Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2015 yang menjadi dasar pembentukan bale mediasi, lembaga itu dibentuk untuk membantu terselenggaranya penyelesaian sengketa melalui mediasi demi terciptanya suasana rukun, tertib, dan harmonis di masyarakat. Salah satu tugasnya adalah mendorong lembaga mediasi di tingkat desa atau kelurahan.
”Jadi, bale mediasi tidak mengambil sebagian dari wewenang penegak hukum. Justru membantu. Perkara yang diselesaikan dengan mediasi ini tidak hanya perdata, tetapi juga pidana. Misalnya, tindak pidana ringan, pernikahan usia dini, dan pencurian ringan,” kata Nasri.
Menurut dia, hingga saat ini, mereka telah menyelesaikan lima konflik antara sengketa tanah di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Lombok Tengah, persoalan tanah di kawasan Bandara Internasional Lombok, serta konflik antara Desa Karang Genteng, Kecamatan Pagutan, Kota Mataram, dan Desa Bajur, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat.
”Konflik Karang Genteng dengan Bajur bermula dari perkelahian anak-anak dari kedua desa tersebut. Hal itu menimbulkan kondisi yang tidak kondusif di kedua desa yang sejatinya bertetangga. Tetapi, akhirnya kedua kampung sepakat untuk berdamai,” tutur Nasri.