Menagih Penanganan Pelanggaran HAM
Meski sudah 21 tahun berlalu sejak kasus dugaan pelanggaran HAM terjadi tahun 1998, hal ini masih jadi beban bangsa yang tak kunjung usai. Publik berharap kasus ini bisa dituntaskan.
Pada era jelang reformasi, ada beberapa kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi, seperti kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II, serta penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998. Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi menjelang runtuhnya Orde Baru ini paling melekat dalam ingatan publik.
Penembakan Trisakti-Semanggi dan kerusuhan Mei 1998 diketahui oleh lebih dari tiga perempat responden. Sementara pengetahuan responden terkait peristiwa 1965-1966 imbang antara yang tahu dan tidak tahu. Jika dilihat berdasarkan kelompok umur, generasi milenial muda, yakni mereka yang berusia 17-30 tahun, paling banyak mengetahui peristiwa penembakan Trisakti-Semanggi (65,4 persen) dibandingkan kasus lain. Ada 37,2 persen responden yang mengetahui peristiwa 1965-1966.
Sementara itu, lebih dari separuh responden generasi X (41-52 tahun) dan generasi tua 53-71 tahun (baby boomers) mengetahui peristiwa penembakan Trisakti-Semanggi, peristiwa 1965-1966, dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998.
Meski ingatan publik terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu belum sirna, jalan keadilan bagi para korban dan keluarganya masih terasa panjang.
Upaya penyelesaian telah dimulai sejak Komisi Nasional HAM membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) kerusuhan dan kekerasan seksual Mei 1998. TGPF menyelidiki dan mengumpulkan bukti-bukti terkait peristiwa tersebut. Pada 11 Juni 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan draf RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) ke DPR dan pada 7 September 2004 DPR menyetujui untuk disahkan. UU KKR memerintahkan agar KKR segera dibentuk setahun setelah undang-undang ini disahkan.
Sayangnya, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU ini, 8 Desember 2006. KKR pun tidak jadi dibentuk sehingga upaya pengungkapan dan rekonsiliasi untuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak berlanjut.
Dalam proses rekonsiliasi, ada sejumlah prinsip yang dijalani, yakni pengakuan negara atas peristiwa pelanggaran HAM, pengungkapan kebenaran, dan permintaan maaf. Selain itu, pemberian jaminan tak terulangnya kembali kasus yang sama serta pemulihan korban dan keluarganya. Metode penyelesaian ini digagas mengingat kebuntuan hukum.
Secercah harapan sempat diberikan kepada keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu ketika pada 31 Mei 2018 Presiden Joko Widodo menerima mereka di Istana Negara. Seperti diketahui, sejak 18 Januari 2007, para keluarga korban pelanggaran HAM berunjuk rasa di depan Istana Merdeka yang dikenal dengan peristiwa Kamisan. Mereka menuntut kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dituntaskan.
Hasil jajak pendapat Kompas menyatakan lebih dari separuh responden menilai pengusutan pelanggaran HAM pada kerusuhan Mei 1998 belum terpenuhi. Angka ini tidak jauh berbeda dengan jajak pendapat Kompas tahun lalu. Pemerintah dan masyarakat Indonesia masih jalan di tempat dalam menuntaskan kasus ini.
Laporan TGPF
Berdasarkan laporan temuan TGPF peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, pelaku kerusuhan 13-15 Mei 1998 terdiri atas dua golongan. Pertama, massa pasif yang bertindak karena diprovokasi, dan kedua, provokator yang umumnya bukan dari wilayah tempat terjadinya kerusuhan. Sasaran kerusuhan adalah pertokoan, fasilitas umum, dan kantor pemerintah.
Angka jumlah korban tidak pasti. Di wilayah Jakarta, TGPF mencatat 1.190 korban tewas akibat terbakar atau dibakar.
Kekerasan seksual juga terjadi tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di Medan (Sumatera Utara) dan Surabaya (Jawa Timur). Bentuknya bermacam-macam, antara lain pemerkosaan, pemerkosaan dengan penganiayaan, serta penyerangan dan pelecehan seksual. Korban yang berhasil diverifikasi mencapai 85 orang.
Lebih dari separuh responden percaya kerusuhan ini direkayasa kelompok tertentu. Kesimpulan laporan TGPF juga menyatakan terdapat indikasi kerusuhan sengaja diciptakan sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite. Sementara itu, lebih dari separuh responden percaya dalam kerusuhan tersebut terjadi kekerasan seksual terhadap sejumlah perempuan Tionghoa.
Berdasarkan fakta yang ditemukan dan informasi dari saksi ahli, TGPF menyatakan memang telah terjadi kekerasan seksual dalam kerusuhan selama tiga hari tersebut. Mayoritas responden juga percaya bahwa telah terjadi penjarahan dan pembakaran massal. Sebagian besar korban jiwa meninggal karena terbakar atau dibakar. Angka kerugian materiil juga tidak diketahui pasti.
Penyelesaian
Hasil jajak pendapat menunjukkan 77,7 persen responden menginginkan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu dilanjutkan oleh pemerintah yang dibentuk seusai Pemilu 2019. Bahkan, 61,3 persen responden berpendapat langkah ini harus menjadi prioritas kerja pemerintah.
Hasil analisis teks naskah visi, misi, dan program kerja pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di Pemilu 2019 yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan kedua pasangan calon, yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menaruh perhatian pada hak sipil dan politik.
Lebih spesifik, pasangan calon Jokowi-Amin berkomitmen melanjutkan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Hal ini tak jauh berbeda dengan visi, misi, dan program kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pemilu 2014. Mereka berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu dengan berkeadilan.
Meski demikian, hanya 35,1 persen responden yakin penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu bisa tuntas pada periode pemerintahan 2019-2024. Rasa pesimistis ini bukanlah tanpa alasan. Alasan pertama ialah kompleksitas pengungkapan kasus dengan pendekatan hukum positif yang mensyaratkan bukti-bukti, saksi, dan prosedur hukum normatif.
Sementara itu, alasan kedua ialah kasus-kasus tersebut diduga juga bernuansa politik sehingga penyelidikan terhadap beban sejarah itu diyakini tak akan mudah dilakukan.