Perang dagang dengan segala perniknya antara Amerika Serikat dan China telah menjadi perhatian global. Jika perang dagang ini terus berlarut dan tidak ada titik temu yang diraih oleh kedua negara dengan perekonomian raksasa itu, perekonomian global menjadi taruhannya.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
WASHINGTON, MINGGU — Perang dagang dengan segala perniknya antara Amerika Serikat dan China telah menjadi perhatian global. Jika perang dagang ini terus berlarut dan tidak ada titik temu yang diraih oleh kedua negara dengan perekonomian raksasa itu, perekonomian global menjadi taruhannya.
Lalu, bakal seperti apa masa depan hubungan AS-China dengan arena rivalitas yang beragam di samping isu perdagangan, mulai dari isu Taiwan, klaim China di Laut China Selatan, hingga kritik AS terhadap Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI)?
AS dan China telah melalui masa-masa sulit sebelumnya, termasuk dalam hubungan di antara kedua negara itu. Sebut saja tragedi Tiananmen, pengeboman Kedutaan Besar China di Beograd, hingga ketegangan yang meletus ketika China menahan awak pesawat Angkatan Laut Amerika menyusul tabrakan pesawat mata-mata AS dan pesawat tempur China pada 2001.
Kini hubungan kedua negara tengah berada di sebuah titik paling rendah. Tren memperlihatkan dan memberikan tanda bakal terus memburuknya hubungan kedua negara itu dalam jangka panjang.
”Amerika Serikat dan China berada di jalur yang bertabrakan,” demikian lembaga Masyarakat Asia menyimpulkan hubungan kedua negara itu dalam laporannya, Februari lalu. ”Fondasi niat baik yang pembangunannya membutuhkan waktu puluhan tahun dengan cepat hancur.”
Pendapat senada diutarakan Michael Swaine dari Carnegie Endowment for International Peace. Pada Januari lalu, ia menyatakan bahwa hubungan AS-China menghadapi tantangan yang paling menakutkan dalam 40 tahun sejak normalisasi hubungan.
Dua negara itu terlibat dalam perang dagang paling pahit sejak 1930-an. Presiden Donald Trump melipatgandakan pajak impor barang-barang China senilai 200 miliar dollar AS pada Jumat (10/5/2019) pekan lalu, tepat pada hari yang sama ketika para perunding AS dan China mengakhiri perundingan perdagangan putaran ke-11 mereka tanpa menghasilkan kesepakatan.
Setelah rombongan China meninggalkan Washington, AS mengumumkan rencana untuk menargetkan 300 miliar dollar AS atas ekspor barang-barang China yang belum dikenai tarif.
Melebar
Namun, kesenjangan yang melebar antara Washington dan Beijing melampaui ranah perdagangan. Sebut saja, China terlibat dalam penggalangan kekuatan militer besar-besaran. Beijing mengklaim kepemilikan Laut China Selatan serta mengabaikan klaim teritorial tetangga-tetangganya dan keputusan tahun 2016 oleh Mahkamah Internasional tentang Hukum Laut.
Beijing juga menindak perbedaan pendapat politik di wilayah Hong Kong yang tampaknya otonom, serta meningkatkan tekanan pada Taiwan, sebuah pulau yang secara de facto menikmati kemerdekaan politik. Beijing menganggap Taiwan layaknya provinsi pemberontak yang suatu hari harus bersatu kembali dengan ibu pertiwi.
Kesenjangan yang melebar antara Washington dan Beijing melampaui ranah perdagangan.
Di bawah Presiden Xi Jinping, yang memimpin sejak tahun 2012, Partai Komunis China (PKC) telah tumbuh semakin represif. Di wilayah otonomi Xinjiang Uighur di China barat, China diduga telah menahan hingga 2 juta Muslim dan memaksa mereka menjalani pendidikan di kamp-kamp detensi.
Di ranah politik domestik, Xi membatalkan tradisi kepemimpinan kolektif selama empat dasawarsa dan memantapkan dirinya seolah akan menjadi presiden seumur hidup bagi China.
”Dengan sejumlah besar masalah yang dimiliki dengan China, saya tidak akan menempatkan masalah perdagangan dalam peringkat yang begitu tinggi,” kata David Dollar, analis senior di Brookings Institution dan mantan pejabat di Bank Dunia dan Departemen Keuangan AS. ”Dan saya seorang ekonom.”
Krisis keuangan
Krisis keuangan dan Resesi Hebat 2007-2009 telah mengubah cara negara memandang diri mereka sendiri dan satu sama lain. Tiba-tiba AS tidak lagi terlihat seperti negara adikuasa tunggal yang tak terkalahkan di dunia dan lebih tampak seperti negara yang terpecah belah yang harus berjuang untuk menghadapi tantangan kemerosotan ekonomi terdalam dalam tujuh dekade.
China di sisi lain sangat kontras, dengan cepat melakukan kampanye stimulus besar-besaran yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan membantu menarik seluruh ekonomi dunia menuju Beijing. Hal itu pun mendorong kepercayaan diri China. Setelah Xi menjabat, Beijing mengumumkan sebuah prakarsa bernama ”Made in China 2025” yang dirancang untuk menjadikan perusahaan-perusahaan China menjadi pemimpin dunia dalam bidang-bidang teknologi maju, seperti robotika dan kecerdasan buatan.
Jika Anda ingin China mengubur program Made in China 2025, mereka tidak akan pernah menghentikan program itu, tetapi mereka dapat berhenti membicarakannya.
Namun, AS mengatakan, China berusaha memenuhi keinginannya dengan menipu, secara diam-diam mencuri, memaksa perusahaan asing untuk menyerahkan teknologi mereka, menyubsidi perusahaannya sendiri, dan menghambat birokrasi pesaing asing yang ingin bersaing di pasar China. Tuduhan inilah jantung dari perang dagang saat ini yang telah mengguncang pasar keuangan dan menutupi prospek pertumbuhan ekonomi dunia.
Presiden AS Donald Trump menuntut agar China lebih lanjut membuka pasarnya untuk produk-produk Amerika dengan menghilangkan hambatan untuk mengurangi defisit perdagangan yang besar yang harus ditanggung AS dengan Beijing. Nilainya mencapai 378,7 miliar dollar AS pada 2018 dan 419,3 miliar dollar AS untuk barang-barang manufaktur saja.
Beijing sudah berkomitmen untuk membeli lebih banyak kedelai AS. Hal itu siap digunakan untuk memberi makan babi. China juga bersedia menyerap produk-produk dari sektor energi. Namun, di sektor-sektor itu akan membutuhkan peningkatan impor yang besar agar defisit AS berkurang. Namun, mengabaikan visi ekonomi China yang megah adalah masalah lain.
”Bagi China, intinya adalah mereka tidak dapat menerima pembatasan yang efektif pada misi mereka melalui sebuah jalur negosiasi semata,” kata Andrew Nathan, pakar tentang China di Columbia University.
”Jika Anda ingin mereka mengubur program Made in China 2025, mereka tidak akan pernah menghentikan program itu, tetapi mereka dapat berhenti membicarakannya.”
Sulit mempertemukan AS dan China. Kedua negara memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang sumber masalah mereka. ”Banyak pembuat opini di Amerika mulai melihat China sebagai kekuatan yang berusaha secara tidak adil melemahkan kemakmuran ekonomi Amerika, mengancam keamanannya, dan menantang nilai-nilainya,” demikian dikatakan lembaga Masyarakat Asia.
”Sementara China mulai melihat AS sebagai kekuatan yang menurun yang berusaha untuk memperpanjang dominasinya dengan secara tidak adil menahan kebangkitan China.” (AP)