Tak henti-hentinya profesi hakim dikhianati oleh penyandang profesi itu sendiri (hakim) melalui perbuatan mereka menerima suap. Sejak Maret 2012 hingga 2019 ada 23 hakim dari lingkungan Mahkamah Agung terjerat operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi karena suap.
Sementara yang terkena sanksi melalui Majelis Kehormatan Hakim yang digelar Mahkamah Agung (MA) bersama Komisi Yudisial (KY) selama periode 2009-2017 mencapai angka 49 hakim (karier dan ad hoc) dengan rincian: 31 orang dipecat dan 18 orang dijatuhi sanksi nonpalu (tidak boleh bersidang) antara 6 bulan hingga 24 bulan.
Dari 49 orang tersebut, 22 orang terbukti menerima suap, 17 orang selingkuh, 5 orang indisipliner, 1 orang memanipulasi putusan, 3 orang tersangkut kasus narkoba, dan 1 orang memalsukan dokumen (laporan tahunan KY 2017). Pada tahun 2018, KY merekomendasikan 63 hakim untuk dijatuhi sanksi.
Sebanyak 40 hakim direkomendasikan dikenai sanksi ringan, 11 hakim direkomendasikan dikenai sanksi sedang, dan 12 orang direkomendasikan dikenai sanksi berat. Kategori perbuatannya, 42 orang tidak profesional, 8 orang tidak menjaga martabat, 5 orang tersangkut kesalahan pengetikan, dan 2 orang tidak berperilaku adil.
MA sebagai institusi puncak yang lebih utama melakukan perbaikan tampaknya sudah tidak berdaya karena keterbatasan kemampuan sumber daya, anggaran, dan masalah integritas di internal MA yang tidak kurang seriusnya dibandingkan dengan situasi di pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT). Begitu pun KY yang terus-menerus ditekan dan digerogoti kewenangannya kian jauh dari harapan menjadi pengawasan eksternal yang andal.
Kewenangan besar hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, ditambah prosedur kerjanya yang diam, tertutup, dan terlindungi, membuat si ”wakil Tuhan” ini rawan menyalahgunakan kewenangannya.
Sifat kewenangan diam (silent) para hakim dalam membuat pertimbangan dan putusan diambil sepenuhnya berdasar interaksi akal sehat dan nurani setiap hakim. Makin cerdas (kompeten) seorang hakim, makin tajam pencermatan dan kian bermutu pertimbangan hukumnya. Makin sehat nurani hakim, makin kuat pula ketaatannya pada moral dan etika profesi.
Adapun kewenangan tertutup terkait ketiadaan akses kontrol pihak lain terhadap proses pengadilan, termasuk saat mereka bermusyawarah untuk memutuskan perkara. Sementara kewenangan terlindungi merujuk pada prinsip independensi hakim yang tidak boleh dicampuri oleh siapa pun dalam bentuk apa pun.
Dengan kewenangan demikian itu, pertimbangan dan putusan sangat mengandalkan integritas setiap hakim. Apabila seorang hakim tuna-integritas, potensi penyimpangan sangat terbuka. Lebih-lebih hakim PT dan apalagi hakim MA yang kewenangannya semakin diam, tertutup, dan terlindungi. Itu artinya, integritas personal hakim menjadi penentu ada tidaknya penyimpangan kewenangan.
Merah-kuning-hijau
Profesi hukum apa pun tidak bisa mengelak disandang oleh orang-orang dengan kualitas personal yang tidak seragam. Ada yang menyandang kualifikasi berwarna hijau, abu-abu, dan merah. Hijau berarti hakim tegak lurus; abu-abu artinya tidak jelas yang potensial menjadi hijau dan bisa juga menjadi merah.
Sementara kategori merah berarti hakim tidak beres, dikenal dengan sebutan hakim hunter. Hakim hijau apa pun keadaannya akan kokoh (istiqomah) menjalankan kewenangan dengan amanah, tidak bisa ditekan atau dipengaruhi siapa pun dengan fasilitas apa pun, dan berani berbeda pendapat (dissenting opinion).
Yang berwarna merah juga akan kokoh di jalan kebatilan, mencari pelbagai cara menjual kewenangannya. Sementara hakim abu-abu bisa menjadi hijau atau merah, tergantung ketua majelis dan anggota, serta para pihak situasi; terkadang faktor KPN/KPT/KMA ikut menentukan. Kalau predikat-predikat itu dikaitkan dengan prosedur kerja hakim yang diam, tertutup, dan terlindungi, maka hanya hakim kategori hijaulah yang dapat diandalkan untuk tidak menjual kehormatan, kepercayaan masyarakat, bangsa dan negara.
Penulis teringat cerita seorang pengacara menasihati kliennya: ”Jika hakim merah yang menangani perkaramu, siapkan uang karena dia akan mengejarmu. Kalau berwarna abu-abu, siapkan uang sembari mencari tahu pintu masuk dan cara masuknya. Tetapi, kalau yang menyidangkan perkaramu majelis hakim berwarna hijau, Anda hanya perlu melakukan satu hal saja, yaitu banyak-banyak berdoa.”
Atmosfer pengadilan
Tak bisa dimungkiri bahwa atmosfer pengadilan kita belum terasa dan menyimbolkan atmosfer sakralitas pengadilan. Bangunan dan tata ruang serta suasana riuh rendah, orang lalu lalang ke sana kemari sama sekali tidak membantu membangun citra pengadilan yang baik.
Pada hampir semua pengadilan di Indonesia tidak tersedia pintu khusus keluar masuk hakim ke ruang sidang sehingga tidak ada keamanan dan kenyamanan.
Belum lagi perilaku para pihak yang memanfaatkan kesempatan berbincang dengan hakim menjelang masuk atau saat berjalan keluar menuju ruang kerja hakim sehingga menimbulkan sak wasangka buruk pada hakim dan proses perkara yang ditanganinya.
Di sisi lain, aktor penting lain di pengadilan (PN, PT, dan MA) yang luput dari perhatian publik dan karena itu jarang diperbincangkan adalah tenaga administrasi pengadilan. Peran aktor ini sangat besar, mulai dari pendaftaran perkara, penentuan jadwal sidang, ruang sidang, sampai pada proses administrasi perkara yang sudah diputus.
Semua aspek administrasi perkara bisa diperjualbelikan oleh aktor-aktor ini. Bahkan, pada sebagian (kalau tidak sebagian besar kasus suap) yang menimpa hakim bermula dari peran aktor administrasi yang menjadi perantara.
Bukan satu dua pengacara atau pihak menceritakan pertemuan atau ajakan petugas administrasi (panitera) untuk membicarakan perkara mereka. Sebagian bahkan terang-terangan menyampaikan permintaan awal sebagai tanda jadi perkaranya akan diurus.
Semua itu menandai ketiadaan atmosfer sakral dalam institusi pengadilan. Sayang sekali upaya membenahi pengadilan belum menyentuh aspek tersebut. Ketiadaan atmosfer sakralitas itu dilengkapi pula oleh sikap dan respons pimpinan MA pada persoalan yang terjadi.
Dengan segala hormat penulis pada pimpinan MA, harus dikatakan bahwa pimpinan MA resisten dengan kritik dan pengawasan oleh KY sebagaimana sudah terbukti melalui tindakan membatalkan beberapa kewenangan KY melalui uji materi UU Mahkamah Konstitusi serta uji Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE PPH) ke MA sendiri, serta pengabaian banyak rekomendasi sanksi oleh KY.
Hal-hal demikian itu, selain tak membantu MA dan jajarannya keluar dari belitan persoalan, juga mengindikasikan pengabaian secara sistematis sesuatu yang buruk dalam institusi pengadilan.
Oleh sebab itu, perbaikan cepat dan mendasar harus dilakukan oleh DPR dan pemerintah melalui revisi dan pembuatan peraturan perundang-undangan bidang kekuasaan kehakiman dan Undang-Undang Komisi Yudisial.
Di sana diatur dengan tegas prosedur dan mekanisme perekrutan hakim tingkat pertama, pendidikan, promosi mutasi, pembenahan manajemen perkara, tenaga administrator, serta pengawasan eksternal yang semakin independen dan bergigi.
Suparman Marzuki Ketua Komisi Yudisial 2013-2015