Pesona Hutan Toba
Abdul Rahman Manik, pawang monyet dan kera di Taman Wisata Kera Sibaganding, tampak panik dan berulang-ulang meniup terompet tanduk kerbau miliknya.
Abdul Rahman terkejut karena rombongan tamu datang satu jam lebih awal dari jadwal pukul 14.00.Semula Rahman menduga beruk-beruk yang berada pada radius 6-7 kilometer itu akan datang sekitar pukul 14.00 pas dengan kedatangan rombongan.
Alhasil, pada 2 Mei 2019, ketika Kompas mengikuti Media Visit Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi KLHK di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Aek Nauli, Simalungun, Sumatera Utara, hanya tampak tiga siamang serta sejumlah monyet ekor panjang.
Seekor induk betina bernama Neli yang menggendong bayinya, Tara, serta satu anak siamang yang telah besar hanya memandang di kejauhan dari ketinggian pohon. Sementara sang pejantan kelompok ini tidak tampak.
Menurut Rahman, sang pejantan memang jarang turun. Biasanya, pemimpin kelompok tersebut hanya mengawasi dari kejauhan. Untuk siamang remaja yang juga hanya memandang dari kejauhan, ia yakin dalam 2-3 bulan ini bisa membuat individu tersebut mendekat seperti Neli dan Tara.
Siamang (Symphalangus syndactylus), kera berwarna hitam dengan lengan yang panjang dan kuat untuk bergelayut di atas pohon tersebut, endemis dari belantara Pulau Sumatera. Suaranya yang sangat khas, berasal dari kantong suara ”gular” yang bisa menggelembung sebesar kepalanya tersebut, acapkali meramaikan suasana pagi di hutan.
Neli, Tara, dan siamang remaja relatif mudah dipanggil karena tinggal di pepohonan sekitar Taman Wisata Kera Sibaganding, yang bisa ditempuh sekitar 30 menit dari Parapat, tempat wisata dan penyeberangan Danau Toba menuju Pulau Samosir. Rahman Manik tak butuh waktu lama untuk memanggil mereka agar datang mendekat.
Setelah siamang-siamang itu mendekat, pengunjung dapat memberi makan pisang yang disediakan Rahman Manik di lokasi tersebut, serta berfoto-foto dengan fauna dilindungi ini. Selain kelompok siamang yang menjumpai pengunjung di hari itu, menurut peneliti BP2LHK Aek Nauli, Sriyanti Puspita Barus, KHDTK Aek Nauli juga dihuni sedikitnya oleh enam kelompok siamang lain.
Siamang dikenal sebagai jenis primata monogami atau hanya memiliki satu pasangan, seperti halnya owa jawa. Secara ekologi hutan, ini menempatkan siamang pada daftar fauna yang lambat dalam peningkatan populasi.
Dihuni beruk
Selain siamang, Taman Wisata Kera ini juga dihuni sejumlah beruk (Macaca nemestrina) dan monyet ekor panjang. ”Tunggu sebentar abang, sebentar beruk-beruk sudah dekat tiba di sini, paling tinggal 500-600 meter,” kata Rahman kepada Kompas saat rombongan pejabat dan sejumlah media lain beranjak meninggalkan area pertunjukan.
Benar saja, sekitar 10 menit berselang, puluhan hingga hampir 100 beruk yang dipimpin pejantan berpostur tegap bernama Sadam berlarian memenuhi panggilan terompet Rahman Manik. Sejumlah 2-5 beruk nyelonong masuk ke gudang makanan dan mencuri satu sisir pisang barangan serta sebungkus kacang sihobuk ketika sang pawang lupa menutup pintu.
Beruk dikenal sebagai pigtailed monkey karena memiliki ekor mirip babi. Di beberapa tempat, seperti Sumatera Barat, beruk dilatih dan dimanfaatkan petani untuk memanjat dan mengambil buah kelapa.
Di Sibaganding, beruk diajari oleh Rahman untuk ”memanjat” tubuh pengunjung dengan iming-iming segenggam kacang sihobuk di tangan pengunjung. Momen ini yang tak pernah dilewatkan difoto untuk mendapatkan banyak komentar di media sosial. Taman Hutan Kera Sibaganding ini salah satu destinasi dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba.
Tujuannya, pengunjung tak hanya menikmati panorama dan bermain air danau, tetapi mendapat suguhan atraksi dan wisata lain untuk dapat memiliki alasan memperpanjang masa kunjungan.
Selain Siamang, BP2LHK sejak hampir dua tahun ini menyuguhkan interaksi edukasi pengunjung bersama gajah sumatera yang dikirim BBKSDA Jawa Barat dari Kawasan Holiday Resort Cikampak, Labuan Batu, pada 2016. Aek Nauli Elephant Conservation Camp (ANECC), yang sebenarnya bukan habitat asli gajah, kini dihuni empat ekor gajah sumatera.
Di hari biasa, pengunjung masih bisa berinteraksi dengan ikut memandikan dan memberi makan gajah. Karena menjunjung semangat edukasi, pengelolaan ANECC antara BP2LHK, BBKSDA Sumatera Utara, dan Lembaga Vesswec, semua pawang gajah atau mahout akan memberi penjelasan terkait kehidupan mamalia besar dilindungi tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan pakan gajah yang setiap hari membutuhkan lebih dari 200 kilogram rumput serta sayur dan buah, BP2LHK Aek Nauli merelakan 7 hektar dari 1.900 hektar luas areal KHDTK Aek Nauli untuk ditanami pakan sekaligus sarana penelitian untuk menemukan pakan unggul dan produktif bagi gajah.
Berbicara soal penelitian tumbuhan, BP2LHK pun membuka dapur risetnya bagi ekowisata edukasinya. Misalnya saja, budidaya lebah trigona dan apis serta atraksi menyedot madu langsung dari sarangnya.
Ditunjukkan pula cara memanen getah kemenyan untuk bahan pembuatan parfum serta panen resin dan serasah pinus untuk bahan pembuatan cat serta minyak atsiri. Demo-demo ini memberi pesan agar hutan dijaga sehingga bisa memberi manfaat bagi masyarakat.
”Harapan kami, ini akan menjadi paket wisata yang menarik yang mendukung prioritas pariwisata nasional Toba dan, terlebih penting, menarik perhatian masyarakat untuk melihat dan mendapatkan pengetahuan dan edukasi,” tutur Sylvana Ratina, Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi Kementerian LHK.
Danau Toba yang bisa ditempuh sekitar 4 jam menggunakan mobil dari Medan menuju Parapat diharapkan kian kaya dengan alternatif wisata yang membangkitkan geliatnya.
Bukan hanya sejarah vulkanologi serta pesona alam danaunya yang sangat indah, edukasi beserta pesan-pesan konservasi hutan dan lingkungan pun menjadi nilai tambah sisi pariwisata yang berkelanjutan.