Plus Minus Normalisasi dan Naturalisasi Sungai
Konsep normalisasi dan naturalisasi digadang-gadang bisa menjadi solusi ampuh untuk pengendalian banjir Jakarta. Keduanya mempunyai prinsip yang berbeda. Namun, intinya adalah konsep pengelolaan sungai untuk meningkatkan kapasitas sungai dan mengembalikan lebar sungai.
Konsep normalisasi dan naturalisasi digadang-gadang bisa menjadi solusi ampuh untuk pengendalian banjir Jakarta. Keduanya mempunyai prinsip yang berbeda. Namun, intinya adalah konsep pengelolaan sungai untuk meningkatkan kapasitas sungai dan mengembalikan lebar sungai. Normalisasi dan naturalisasi mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang bisa menjadi pertimbangan untuk diterapkan di Jabodetabek.
Istilah normalisasi mulai dikenal sejak penertiban kawasan Kampung Pulo pada 2016 lalu. Sebanyak 300 orang di Kampung Pulo direlokasi ke Rumah Susun Jatinegara Barat, Cipinang Besar Selatan, dan Pulo Gebang karena rumahnya berlokasi di bantaran Sungai Ciliwung. Pemerintah Provinsi DKI bersama Kementerian Pekerjaan Umum melaksanakan proyek normalisasi sungai sebagai bagian dari upaya pengendalian banjir Jakarta.
Namun, jauh sebelum itu, sebenarnya normalisasi sungai sudah dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Sejak abad ke-16, Sungai Ciliwung yang disebut Sungai Besar sudah ”diiris-iris” menjadi kanal untuk menyediakan alur pelayaran, alur pembuangan air, dan sarana untuk pertahanan kota. Abad berikutnya, mulai dilakukan pembangunan pintu air di beberapa sungai untuk mengendalikan arus banjir dari wilayah selatan.
Sistem koreksi sungai yang terkenal di era Belanda adalah rencana Van Breen (1920) untuk membuat Terusan Kanal Barat yang berfungsi untuk pengendalian banjir, pengadaan air, serta perbaikan sungai. Terusan ini dibangun bermula dari Sungai Ciliwung yang dipecah di kawasan Manggarai.
Selanjutnya, terusan ini memotong aliran sungai Krukut, Angke, dan Grogol. Aliran Sungai Ciliwung yang masuk ke tengah kota Jakarta dipecah menjadi dua. Adapun aliran Sungai Krukut, Angke, dan Grogol dipotong dan dibelokkan masuk ke kanal baru tersebut.
Sekitar abad ke-19, tidak hanya Van Breen yang mempunyai rencana normalisasi sungai-sungai di Jakarta. Sejumlah ahli tata air Belanda lainnya pernah mengusulkan membuat sodetan, yakni membuat percabangan sungai pada satu bagian badan sungai yang dialirkan pada kanal baru lainnya.
Sodetan yang diusulkan adalah sodetan di antara Sungai Ciliwung dan Cisadane dan Sungai Ciliwung-Kanal Banjir Timur. Di antara dua usulan tersebut, hanya sodetan Sungai CIliwung-Kanal Banjir Timur yang sekarang dalam proses pembangunan.
Cerita normalisasi sungai di wilayah Jakarta identik dengan pelebaran sungai yang berdampak pada pemindahan warga di bantaran sungai, pemasangan sheet pile di bibir sungai, pelurusan sungai, dan pembangunan sudetan.
Menurut Agus Maryono (2003) dalam buku Pembangunan Sungai dan Dampak Restorasi Sungai, normalisasi sungai merupakan metode untuk menyediakan alur sungai dengan kapasitas mencukupi untuk menyalurkan air, terutama air yang berlebih saat curah hujan tinggi.
Baca juga: Bersama Menata Sungai untuk Atasi Banjir
Aktivitas normalisasi sungai yang dilakukan di antaranya pelurusan, sodetan, penyempitan alur, dan penyederhanaan penampang sungai. Selanjutnya adalah rekayasa sungai pada pembangunan transportasi sungai, seperti regulasi sungai, proteksi tebing, pengerukan, dan penaikan elevasi muka air. Normalisasi bisa juga berupa rekayasa sungai yang biasa dilakukan pada pembangunan tenaga air dan bendungan.
Normalisasi sungai telah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi serta Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.
Dalam dua aturan tersebut, normalisasi sungai menjadi bagian dari rencana prasarana drainase yang bertujuan untuk mengalirkan curah hujan dengan kala ulang 25 hingga 100 tahun. Normalisasi sungai direncanakan dilakukan di Kecamatan Pesanggrahan dan Cakung.
Naturalisasi
Setelah DKI Jakarta berganti pemerintahan baru, penataan sungai berubah tidak lagi menganut sistem normalisasi, tetapi berganti menjadi naturalisasi. Naturalisasi yang dimaksud adalah pembangunan fisik yang menggunakan material bersifat alami dan ramah lingkungan serta prosesnya dilaksanakan secara manusiawi. Hal tersebut termuat dalam surat tertulis Gubernur DKI kepada Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane pada 27 Agustus 2018 (Kompas, 10/4/2019).
Selanjutnya, terbit Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi. Menurut aturan yang diundangkan 1 April tersebut, naturalisasi merupakan cara mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir, serta konservasi.
Konsep tersebut terdiri dari aspek penataan RTH, penyediaan sarana-prasarana umum, pengelolaan sumber daya air dan sanitasi, ekologi lingkungan, pengelolaan sampah dan pemantauan kualitas air, serta pemberdayaan masyarakat.
Bagi negara maju di Eropa dan Amerika, tahap pembangunan sungai seperti normalisasi dan koreksi sungai telah ditinggalkan. Sebaliknya, negara-negara tersebut mulai melakukan konsep restorasi, revitalisasi, dan renaturalisasi sungai.
Agus Maryono dalam Petunjuk Teknis Restorasi Kualitas Sungai (2017) menggunakan istilah restorasi sungai dan renaturalisasi sungai. Arti restorasi sungai adalah upaya memulihkan kembali sungai yang telah terdegradasi. Adapun renaturalisasi sungai adalah upaya untuk mengembalikan sungai ke kondisi alamiahnya semula. Restorasi sungai dibedakan menjadi lima elemen lain yang berhubungan, yakni restorasi hidrologi, ekologi, morfologi, sosial-ekonomi-budaya, dan restorasi kelembagaan/aturan terkait sungai.
Adapun naturalisasi menurut paper ”River Naturalisation: Background and Workshop Aims” (University of Glosucestershire, 2017) merupakan upaya memulihkan dan meningkatkan keanekaragaman hayati, menghapus struktur buatan manusia, dan mendukung proses alami sungai, adanya aliran dan sedimentasi. Selanjutnya, prinsip normalisasi juga berarti pemulihan fitur sungai yang berkelok-kelok, tidak ada intervensi manusia, dan mengembalikan konteks historis sungai.
Pemahaman lain soal naturalisasi yang mirip dengan Pergub DKI Jakarta disebut dalam paper ”Urban Naturalization in Canada, A Policy and Guidebook (Evergreen, 2001)”. Naturalisasi merupakan proses restorasi ekologis untuk mengembalikan situs yang diubah atau rusak ke kondisi yang lebih alami melalui penggunaan pohon, semak, dan bunga yang sebelumnya pernah tumbuh di daerah tersebut.
Sungai di kota besar telah dimodifikasi untuk mengatasi banjir dan memanfaatkan lahan secara maksimal untuk permukiman, industri, dan pertanian. Restorasi di sungai diperlukan di kota besar. Tujuannya, dikutip dari paper ”Rivers by Design (2013)”, untuk mengembalikan kualitas air, mengatasi banjir dan pencemaran air, serta meningkatkan lingkungan alami untuk tumbuhan dan hewan.
Meningkatkan kapasitas aliran
Meskipun cara untuk mengelola sungai yang diterapkan dalam normalisasi dan naturalisasi sungai berbeda, keduanya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas aliran dan mengembalikan lebar sungai.
Bedanya, normalisasi mengembalikan lebar sungai dengan memperkuat dinding sungai dengan sheet pile. Bantaran sungai selebar 9 meter di kanan dan kiri sungai merupakan jalan inspeksi yang berfungsi sebagai lalu lintas kendaraan dan jalur kendaraan ekskavator untuk mengeruk sedimentasi sungai. Upaya meningkatkan kapasitas aliran dilakukan dengan mengeruk sedimentasi sungai secara rutin.
Adapun naturalisasi mengembalikan lebar sungai dengan membiarkan dinding sungai secara alami tanpa perkerasan beton. Bantaran sungai pun merupakan lahan hijau yang ditanami tanaman ekosistem sungai. Jika air sungai meluap, air akan melimpas ke kanan dan kiri bantaran yang merupakan dataran banjir alami.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa dalam proses naturalisasi tidak ada lahan terbangun, seperti kawasan permukiman, industri, ataupun komersial yang mengokupasi wilayah sungai. Jika ada, proses naturalisasi tidak bisa dilakukan. Lahan terbangun akan mengganggu proses restorasi sungai. Ekosistem alami sungai tidak akan kembali sebagaimana mestinya. Selain itu, akan selalu merugikan aktivitas manusia yang ada di dataran banjir.
Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengembalikan lebar sungai. Bagi sungai di Jakarta, mengembalikan lebar sungai menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Alasannya, lebar sungai yang awalnya sekitar 50 meter telah menciut menjadi 10 sampai 15 meter. Penyempitan tersebut karena bantaran sungai telah diokupasi oleh lahan terbangun.
Peraturan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2018 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, areal sempadan sungai terlarang untuk mendirikan bangunan. Garis sempadan sungai berjarak 10-30 meter dari bibir sungai. Ruang di kiri dan kanan palung sungai tersebut berfungsi sebagai penyangga antara ekosistem sungai dan daratan supaya fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu.
Jika aktivitas manusia di bantaran sungai tidak dipindah, sungai tetap akan menyempit. Konsep normalisasi ataupun naturalisasi sulit dilaksanakan. Jika menerapkan naturalisasi, tidak akan ada ruang hijau yang bisa dinikmati sebagai tempat rekreasi di dataran banjir.
Dataran banjir di bantaran sungai hanya akan penuh oleh permukiman padat. Jika menerapkan normalisasi, upaya betonisasi akan sulit dilakukan. Bahkan, pengerukan sedimentasi pun luput dilakukan karena alat ekskavator sulit menjangkau badan sungai yang tertutup permukiman.
Betonisasi
Pemasangan sheet pile atau betonisasi di kanan kiri badan sungai pada proses normalisasi dinilai bertentangan dengan konsep naturalisasi yang menghapus struktur buatan manusia dan mengembalikan kondisi alami sungai. Namun, menurut Mudjadi, Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dalam Diskusi Menata Sungai Jakarta, awal 2016 lalu, membuat sungai secara natural sulit dilakukan di kota.
Di kota, sungai dibeton karena masalah pengadaan lahan. Jika tak dibeton, dinding sungai harus dibuat miring, yang berarti membutuhkan semakin banyak ruang sempadan sungai .
Hal yang sama juga disebutkan oleh Bambang Hidaya, Kepala BBWSCC. Desain yang cocok untuk sungai di perkotaan adalah normalisasi dengan menanggul sungai menggunakan beton dan dinding tanggul tegak lurus. Lebar 40 meter untuk sungai dan 7,5 meter di kanan dan kiri sungai sebagai sempadan (Kompas, 6/5/2019).
Jika melakukan naturalisasi dengan mengganti bronjong batu sebagai dinding sungai, diperlukan lahan selebar minimal 12,5 meter, masing-masing di kiri dan kanan sungai untuk membuat tebing yang landai. Jadi, total lahan yang harus tersedia berkisar 80-90 meter.
Hal tersebut berarti membutuhkan ruang yang lebih luas lagi di kawasan sungai. Untuk sungai yang mengalir di tengah kota, seperti Ciliwung, hal tersebut sulit dilakukan. Kepadatan bangunan yang berkembang setiap tahun terus mendesak badan sungai.
Setelah DKI Jakarta berganti pemerintahan baru, penataan sungai berubah tidak lagi menganut sistem normalisasi, tetapi berganti menjadi naturalisasi.
Sebenarnya upaya normalisasi dengan betonisasi sungai di Jakarta hanya dilakukan di bagian sungai yang mengalir di pusat kota. Dinding sungai di bagian tengah hulu masih mempertahankan bentuk alaminya tanpa ada proses betonisasi dinding sungai.
Sebagai gambaran, Kompas pernah melakukan penelusuran Sungai Pesanggrahan dari kawasan Hutan Kota Sanggabuana, Cinere, hingga kawasan Kedoya, Jakarta Barat, 2016 lalu. Dinding Sungai Pesanggrahan dari Hutan Kota Sanggabuana, Cinere, hingga Bintaro masih tampak alami, tanpa perkerasan.
Ekosistem sungai cukup terpelihara, meski pada beberapa titik di Cinere, sempadan sungai menjadi halaman belakang rumah. Upaya betonisasi normalisasi baru dilakukan di titik Ciputat Raya hingga hilir sepanjang sekitar 15 kilometer dari 66,7 kilometer panjang sungai.
Sebenarnya Pemerintah Provinsi DKI tidak perlu anti dengan proses betonisasi sungai. Wajar beberapa ruas sungai di perkotaan harus dibeton untuk memperkuat dinding sungai dan menghindari erosi.
Sungai Brisbane yang membagi dua bagian kota Brisbane, misalnya. Dinding sungai yang berbatasan langsung dengan gedung-gedung perkantoran dan hotel di kawasan Eagle Street Pier diperkuat dengan beton. Namun, itu hanya di beberapa titik. Sisanya masih mempertahankan ekosistem alami sungai, bahkan beberapa tempat, seperti kawasan Kangaroo Point dan Universitas QUT, memiliki ekosistem bakau yang dipertahankan alami.
Waktu lebih lama
Proses naturalisasi membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengendalikan banjir ataupun mengembalikan sungai ke kondisi alami. Tidak semudah membalik telapak tangan, naturalisasi sungai di Jakarta hanya dengan membongkar beton, kemudian mengganti dengan bronjong batu. Ataupun hanya dengan menanam tanaman di sekitar bantaran sungai.
Menilik pengalaman kawasan Milton Keynes di Inggris, butuh waktu dari 1992 hingga 2015 hingga proyek normalisasi sungai selesai dan dataran banjir di sekitar sungai bisa menjadi ruang terbuka hijau baru. Prosesnya dimulai sejak 1992 dengan pembentukan organisasi swadaya masyarakat amal Parks Trust untuk mengelola kawasan Milton Kyenes seluas 1.800 hektar.
Selanjutnya, tahun 1994 hingga 2000 adalah proses pembuatan proposal hingga penggalangan dana untuk bisa memulai proyek tersebut. Proyek pembuatan kembali habitat sungai tersebut baru bisa terlaksana tahun 2007 dan selesai tahun 2015.
Sekarang, kawasan tersebut telah menjadi ruang publik, taman rekreasi baru bagi penduduk di Milton Keynes. Selain itu, hal tersebut bisa mengurangi risiko banjir dan memulihkan kembali habitat baru.
Upaya normalisasi sungai yang disebut dengan restorasi sungai juga telah dilakukan di sejumlah sungai di Yogyakarta, seperti Sungai Winongo, Tambak Bayan, Kuning, dan Gajah Wong. Upaya tersebut dipelopori Agus Maryono, dosen Teknik Sipil UGM, dan sejumlah komunitas masyarakat yang tergabung dalam grup Whatsapp Gerakan Restorasi Indonesia.
Untuk melakukan restorasi Kali Code, misalnya, butuh waktu hampir 10 tahun. Bahkan, mungkin lebih dari itu juga menghitung upaya yang telah dilakukan oleh almarhum Romo Mangun 1980-1990 lalu. Restorasi dimulai dengan tag line ”Nol Sampah di Kali Code” pada 2010 hingga membentuk komunitas masyarakat yang ikut menjaga sungai, seperti Pemerti Code.
Efektivitas normalisasi
Normalisasi sungai gencar dilakukan tahun 2014 hingga 2017 di Sungai Pesanggrahan, Angke, Sunter, dan Ciliwung. Pada periode tersebut, normalisasi tidak sekadar aktivitas pengerukan sedimentasi dan sampah di badan sungai, tetapi juga diikuti pemindahan permukiman di bantaran sungai sebagai upaya pelebaran sungai.
Setelah penduduk dipindahkan ke rusunawa, mulai dibangun sheet pile di kanan kiri sungai untuk memperkuat dinding sungai. Hasilnya sudah bisa dilihat pada Sungai Ciliwung ruas Kampung Pulo. Bentuk Sungai Ciliwung yang berkelok-kelok sudah bisa jelas terlihat dan tidak ada tumpukan sampah di badan sungai. Lebar Sungai Ciliwung kembali menjadi sekitar 50 meter dan di kanan-kiri badan sungai terdapat jalan inspeksi.
Normalisasi sungai dengan betonisasi dan pengerukan sungai terbukti efektif mengurangi titik banjir di Jakarta. Sebagai perbandingan, BPBD DKI Jakarta mencatat, pada 2015, saat upaya normalisasi baru dilakukan, masih ada 702 titik banjir di 139 kelurahan dan 39 kecamatan. Seiring dengan normalisasi, pada 2018, titik banjir berkurang drastis menjadi 68 titik di 63 kelurahan dan 30 kecamatan.
Namun, pada September 2018, BBWSCC memastikan, tidak ada lagi anggaran untuk normalisasi sungai di Jakarta. Pembebasan lahan yang menjadi tanggung jawab Pemprov DKI untuk normalisasi tidak terlaksana dengan baik. Sebagai contoh, dari 33 kilometer panjang Sungai Ciliwung, yang sudah selesai dinormalisasi 16 km. Masih ada 17 km lagi yang belum dinormalisasi.
Akhir April lalu, sejumlah titik di Jakarta mengalami banjir, terutama di kawasan Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur yang dilintasi Sungai Ciliwung, Angke, dan Krukut. Tercatat di BPBD DKI ada 37 titik banjir yang terjadi selama 26-29 April 2019.
Di luar perdebatan soal normalisasi dan naturalisasi, banjir Jakarta masih akan terus terjadi. Kondisi geografis Jakarta yang dilintasi 13 sungai serta 40 persen bagian wilayahnya berada di bawah permukaan laut mengharuskan semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat, untuk ikut menangani banjir.
Pemerintah pusat dan Pemprov DKI berwenang untuk mengatasi banjir. Adapun masyarakat juga bisa ikut memelihara sungai dengan tidak membuang sampah ke sungai, melakukan pemeliharaan rutin drainase lingkungan dengan mengeruk sedimentasi, serta aktif dalam kegiatan PPSU.
Konsep normalisasi dan naturalisasi ada plus minusnya. Meski demikian, konsep yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas aliran sungai tetap membutuhkan ruang untuk memperlebar sungai dan mengembalikan dataran banjir alami. Keduanya bisa digunakan dalam sebuah aliran sungai, tergantung lokasinya ada di wilayah hulu-tengah atau hilir sungai. Apa pun konsep pengendalian banjir yang dilakukan pemerintah, masyarakat hanya ingin terbebas dari banjir. (LITBANG KOMPAS)