Apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ingin serius menangani masalah sampah di Teluk Jakarta, alat itu harus ada di 14 sungai di Jakarta yang mengalir ke laut.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penanganan sampah di laut harus dilakukan secara kolektif oleh seluruh daerah. Sebab, sampah-sampah itu merupakan hasil aktivitas di daratan yang kemudian mengalir ke laut. Pemerintah mulai mengembangkan alat pembersih sampah plastik di sungai dengan uji coba pertama di salah satu sungai di DKI Jakarta.
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan meresmikan uji coba teknologi alat pengumpul sampah terapung atau river clean-up system di kawasan Cengkareng Drain, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, Senin (13/5/2019). Seusai peresmian, Luhut mengatakan, sampah di laut Indonesia sudah memprihatinkan sehingga harus ditangani bersama-sama lintas daerah.
"Masalah sampah ini tak hanya di Jakarta. Di Bali juga sudah parah. Jadi, secara pararel, nanti kami akan tangani daerah mana lagi yang parah masalah sampahnya," ujar Luhut.
Dalam kesempatan itu, Luhut ditemani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Oswar Muadzin Mungkasa, serta Direktur Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rudi Nugroho.
Luhut menuturkan, pemasangan alat pengumpul sampah terapung di salah satu sungai di Jakarta itu barulah uji coba. Alat itu merupakan hasil kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda melalui Kementerian Infrastruktur dan Lingkungan Belanda.
Menurut Luhut, apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ingin serius menangani masalah sampah di Teluk Jakarta, alat itu harus ada di 14 sungai di Jakarta yang mengalir ke laut.
"Sampah-sampah kecil yang lolos, kita sisir. Tak perlu orang renang atau bawa perahu, tetapi bisa langsung pakai alat ini," kata Luhut.
Sebagai catatan, produksi sampah dari Jakarta bisa mencapai 700-800 ton per hari. Alat itu disebut dapat mengangkut sampah hingga 30 ton setiap hari.
Limbah plastik
Sementara itu, Siti Nurbaya Bakar menjelaskan, saat ini, Indonesia masih menghadapi impor limbah plastik campuran ilegal. Hal itu disebabkan pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun.
"Pada dasarnya, kami ketat. Kalau dari ketentuan tak boleh (impor) dan hanya bisa impor kalau ada rekomendasi Kementerian LHK. Kalau tak ada (izin) berarti, ilegal," ujar Siti Nurbaya.
Menurut Siti Nurbaya, kelemahan dari Permendag 31/2016 itu adalah kode HS atau produk impor yang memberikan ruang sehingga limbah plastik tersebut dapat masuk. Namun demikian, lanjut Siti, dia telah meminta kepada Mendag Enggartiasto Lukita untuk merevisi peraturan tersebut.
"Sekarang kami sudah minta Mendag untuk itu direvisi," katanya.
Alih teknologi
Sementara itu, Direktur Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rudi Nugroho menuturkan, dalam setahun ini, selain proses uji coba, alat terapung yang berasal dari Belanda itu akan ada proses alih teknologi.
"Harga satu alat sekitar Rp 3-5 miliar. Harus ada alih teknologi kemudian kami cari semaksimal mungkin kandungan lokalnya, mana yang bisa dibuat di lokal, kami upayakan di lokal. Karena kalau semua diimpor, itu mahal harganya. Kalau bisa dibuat di sini, dihitung-hitung bisa jadi separuhnya," ujar Rudi.
Selain itu, Rudi menyebut, pihaknya juga akan terus mengevaluasi hasil dari uji coba itu untuk mengetahui efektivitas dalam penanganan sampah di laut. " Nanti kita evaluasi, berapa (sampah) yang lolos, berapa yang ketangkep, kekurangnya apa, nanti sejalan dengan ini, kami lakukan modifikasi di alat yang baru," katanya.