Setahun lalu teror bom mengguncang Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur. Horor berdarah menghantam Gereja Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Rusunawa Wonocolo, dan Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Peristiwa mengerikan itu sudah berlalu setahun, tetapi mungkin masih menyisakan trauma bagi korban dan warga terdampak. Perlawanan terhadap terorisme tetap digaungkan dengan jalan kemanusiaan yang mengedepankan cinta kasih.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
Anak perempuan dan anak lelaki itu tiba-tiba beranjak dari bangku barisan depan saat ekaristi kudus peringatan setahun teror bom masih berlangsung di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, Jawa Timur, Senin (13/5/2019) malam.
Dengan rambut dikuncir dan memegang botol minum, si anak perempuan berjalan terlebih dahulu, disusul si anak lelaki yang bertubuh lebih besar dan berusia lebih tua. Keduanya sempat berhenti di depan rehal. Di depan mimbar kiri altar dipajang enam foto korban teror bom sewarsa lampau. Kedua anak itu sejenak melihat foto-foto yang berhias rangkaian bunga putih di kiri dan kanan.
Beberapa saat kemudian, seorang perempuan dewasa beranjak dari bangku dan menyusul kedua anak tadi. Kami, segelintir jurnalis yang melihat peristiwa itu dari balkon atas, sejenak terenyak kemudian terharu.
Kedua bocah itu tentu adalah buah hati Aloysius Bayu Rendra Wardana, petugas gereja Katolik di Jalan Ngagel Madya yang tewas mengenaskan dalam peristiwa horor berdarah di gerbang selatan bait ibadah tersebut, Minggu (13/5/2018) pukul 07.10. Sang perempuan tak lain adalah Monique Dewi Andini, istri tercinta almarhum.
Amat bisa dimengerti apabila kedua anak itu sempat berhenti di depan pajangan foto. Potret diri ayahanda yang gagah itu diletakkan di kiri atas. Di salindia, Bayu berkemeja warna gelap dengan latar merah. Kedua buah hati almarhum tentu mengenali sosok ayahanda yang berkorban jiwa menghadang sepeda motor yang dinaiki dua remaja pelaku bom bunuh diri di gerbang selatan gereja itu.
Saya berusaha melawan takut dengan banyak berdoa dan bersyukur.
Menjelang misa berakhir, dari arah gerbang yang setahun lalu luluh lantak, datang Inspektur Dua Ahmad Nurhadi di kursi roda yang didorong oleh ananda dan istri tercinta. Terlihat dirinya masih terguncang saat melewati pos gerbang selatan. Saat horor berdarah itu, Nurhadi berjaga di luar pos sehingga terluka akibat ledakan bom. Teror itu mengakibatkan kebutaan dan kelumpuhan.
”Saya berusaha melawan takut dengan banyak berdoa dan bersyukur,” kata Nurhadi.
Senin malam itu, Gereja Santa Maria Tak Bercela juga didatangi umat Islam untuk mengikuti rangkaian acara peringatan setahun bom Surabaya. Acara diisi dengan bedah buku, buka puasa bersama, dan refleksi yang diakhiri dengan penyalaan lilin di halaman.
Refleksi
Santa Maria Tak Bercela (SMTB) merupakan satu dari tiga bait ibadah Nasrani yang dihantam teror bom setahun lalu. Setelah horor berdarah terjadi di SMTB, pelaku teror meledakkan bom di Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di Jalan Arjuno. Serangan mengerikan dilakukan oleh pasangan Dita Oeprianto dan Puji Kuswati yang secara keji melibatkan empat anak mereka. Mereka sekeluarga meninggal saat pengeboman dan dimakamkan di Sidoarjo.
Teror pertama di SMTB oleh dua anak lelaki pasangan itu. Ledakan kedua terjadi di GKI oleh Puji dan dua anak perempuannya. Yang ketiga, Dita meledakkan diri sekaligus menabrakkan mobil di GPPS. Sekeluarga ini tewas.
Horor berdarah tidak berhenti di sana. Malamnya, ledakan terjadi di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, yang menewaskan pasangan Anton Ferdiantono-Puspita Sari dan seorang anak mereka. Tiga anak Anton dan Puspita selamat meski terluka.
Keesokan pagi, ledakan terjadi di gerbang Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya oleh keluarga Murtono-Ernawati yang turut menewaskan dua anak lelaki mereka. Yang mengherankan, anak perempuan yang turut dibawa dalam bom bunuh diri itu selamat.
Vikaris Pastoral Keuskupan Surabaya RD Agustinus Tri Budi Utomo dalam khotbah misa peringatan di SMTB mengatakan, teror bom itu dari sudut pandang lain bisa dilihat sebagai peristiwa iman bagi umat paroki secara khusus dan umat Katolik pada umumnya.
Pada 13 Mei 1981, Paus Yohanes Paulus II, pemimpin Gereja Katolik, ditembak oleh Mehmet Ali Agca, pembunuh bayaran dari Turki, di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, dalam wilayah Roma, Italia. Paus yang selamat dari penembakan itu memaafkan, mengampuni, dan mendoakan Mehmet.
Tanggal 13 Mei 1917 merupakan waktu penampakan Santa Maria kepada tiga anak gembala dari Fatima, Portugal, yakni Lucia dos Santos dan dua sepupunya, Francisco Marto dan Jacinta Marto. Peristiwa itu menginspirasi Gereja Katolik menjadikan Mei sebagai bulan rosario. Bagi Gereja SMTB, kemuliaan di Fatima itu diabadikan menjadi nama tempat ibadah.
Bagi warga Indonesia, tanggal 13 Mei 1998 menandai rentetan kerusuhan tak terkendali, terutama di Jakarta. Utomo yang akrab disapa Romo Didik itu mengatakan, bangsa Indonesia tentu masih ingat kerusuhan Mei 1998 di Ibu Kota. Dua dasawarsa kemudian, teror bom mengguncang Surabaya dan Sidoarjo, Jatim.
”Dengan pengampunan dan kasih, iman kita dikuatkan,” ujar Romo Didik yang dalam misi itu turut didampingi oleh lima pastor lain dari Gereja SMTB dan paroki lain dalam Keuskupan Surabaya.
Dengan pengampunan dan kasih, iman kita dikuatkan.
Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi dan aktivis Gusdurian, Aan Anshori, yang turut hadir dalam misa mengatakan, peristiwa teror bom yang masih terjadi di Indonesia harus terus dilawan. Horor berdarah jelas merupakan peristiwa kebiadaban yang menepikan kemanusiaan. Namun, perlawanan sedianya dengan jalan keadaban yang mengedepankan kemanusiaan.