Seni memiliki bahasa universal yang melampaui batas-batas bangsa, negara, ras, agama, dan suku. Potensi ini dikembangkan oleh sebagian seniman untuk tidak saja menawarkan hiburan, tapi juga menerabas berbagai perbedaan serta mendorong kehidupan dunia yang lebih damai.
Oleh
ILHAM KHOIRI
·3 menit baca
VENESIA, KOMPAS — Seni memiliki bahasa universal yang melampaui batas-batas bangsa, negara, ras, agama, dan suku. Potensi ini dikembangkan oleh sebagian seniman untuk tidak saja menawarkan hiburan, tapi juga menjadikan seni sebagai jembatan yang menerabas berbagai perbedaan serta mendorong kehidupan dunia yang lebih damai.
Semangat itu terasa dalam pameran seni rupa internasional Venice Art Biennale 2019 yang digelar di Venesia, Italia, 11 Mei sampai 24 November 2019. Banyak seniman dari banyak negara turut serta memajang berbagai karya yang menarik. Semua itu dirangkum oleh kurator Ralp Rugoff, Direktur Hayward Gallery di London, dengan tema ”May You Live in Interesting Times”.
Indonesia tampil dengan membuka paviliun nasional di kawasan Arsenale, yang diisi seni instalasi berjudul ”Lost Verses: Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba”. Ini karya kolaborasi Asmudjo Jono Irianto (kurator), Yacobus Ari Respati (kokurator), Syagini Ratna Wulan (seniman asal Bandung), dan Handiwirman Saputra (seniman asal Yogyakarta). Handiwirman juga diundang menampilkan karya pribadi di seksi internasional di kawasan Arsenale dan Giardini, Venesia.
Pameran ini mencerminkan perkembangan terkini dari praktik-praktik seni rupa kontemporer. Sebagian besar seniman menyuguhkan bermacam bentuk instalasi, termasuk rangkaian bebunyian. Sebagian lagi menjelajahi kemungkinan baru dari video, animasi, patung, lukisan, atau foto. Ada juga pentas seni.
Karya-karya itu mengulik beragam persoalan. Meski berangkat dari negara masing-masing, sebagian besar problem itu juga dialami masyarakat global. Ada kritik atas kekerasan manusia, perang, pencarian identitas, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, atau masalah kerusakan lingkungan. Ada juga karya yang mengajak pengunjung bermain atau mencoba sensasi bunyi, gerak, dan visual yang asyik.
Seniman Fei Jun di Paviliun China di Arsenale, misalnya, menyajikan aplikasi pembuat jembatan. Pengunjung dapat mengunduh aplikasi itu dan menjajal membuat jembatan virtual di telepon pintar masing-masing. Ada juga layar besar berisi elemen-elemen animasi yang bisa digerakkan dari layar sentuh tanpa kabel.
”Sebagian masyarakat dunia sibuk mencari perbedaan antarkelompok atau negara. Padahal, sebagai sesama manusia, kita justru lebih banyak persamaannya. Kenapa kita tidak fokus saja pada persamaan agar bisa membangun perdamaian?” kata Fei Jun, saat ditemui di pameran, akhir pekan lalu.
Kenapa kita tidak fokus saja pada persamaan agar bisa membangun perdamaian? (Fei Jun)
Di kawasan Giardini, Paviliun Jepang menawarkan semacam ruang relaksasi. Layar-layar besar dipasangi video pemandangan alam yang meneduhkan: pantai yang dengan ombak lembut, rumput bergoyang dituip angin, atau batu besar yang diam. Musik lembut memenuhi ruangan.
Di tengah, ada sofa empuk untuk duduk, bahkan rebahan. Banyak pengunjung yang masuk ruangan langsung berselonjor dan tidur-tiduran sambil dibuai video dan musik yang menentramkan tadi. Tanpa bicara, mereka semua menikmati bahasa rupa dan bunyi yang menenangkan.
Paviliun Kota Venesia membuat lorong air dengan lantai yang dibungkus plastik. Pengunjung diajak melepas sepatu, masuk, dan berjalan di dalam lorong serta merasakan sensasi dingin air yang menyegarkan. Pesannya jelas, jika bersahabat dengan air, kita bakal mengambil manfaatnya.
Ruang interaksi
Lebih dari sekadar pameran seni, Venice Art Biennale yang digelar sejak tahun 1895 itu telah menjelma sebagai ruang interaksi sosial yang penting. Setiap tahun, jutaan orang mengunjungi Venesia untuk merayakan karya seni sekaligus bergaul dengan para seniman, kurator, kritikus seni, pemilik galeri, dan khalayak umum dari berbagai belahan dunia. Seni mempertemukan mereka dalam bahasa universal yang melampaui batas-batas negara, bangsa, suku, atau agama.
”Semua seniman ingin ke Venesia untuk berpameran, melihat, dan bergaul dengan orang dari seluruh dunia,” kata Dolorosa Sinaga, seniman dan anggota tim juri Paviliun Indonesia di Venice Biennale 2019. Dia tiga kali mengunjungi kota sungai ini.
Dalam katalog pameran, Ralp Rugoff mengungkapkan, seni memang tidak bisa menjadi kekuatan politik praktis, katakanlah untuk membendung pemberontakan, meruntuhkan pemerintahan otoriter, atau dapat mengurangi nasib tragis orang-orang telantar di seluruh dunia.
Namun, seni dapat menawarkan cara pandang yang menarik untuk merespons berbagai persoalan dunia dengan pemikiran-pemikiran kritis. Seni berpotensi menjadi semacam panduan untuk bagaimana hidup dan berpikir dalam situasi sekarang.
Seni dapat menawarkan cara pandang yang menarik untuk merespons berbagai persoalan dunia dengan pemikiran-pemikiran kritis.