Kesetiaan ”Kopites” dan Kegagalan Liverpool
Waktu 29 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mencintai sesuatu. Entah itu manusia, barang, atau sebuah gagasan. Jika hal itu ditanyakan kepada penggemar Liverpool atau Kopites, mereka akan menjawabnya dengan mudah ,”Kami tidak akan pindah,” seperti nyanyian mereka di Stadion Anfield.
Waktu 29 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mencintai sesuatu. Entah itu manusia, barang, atau sebuah gagasan. Jika hal itu ditanyakan kepada penggemar Liverpool atau ”Kopites”, mereka akan menjawabnya dengan mudah, ”Kami tidak akan pindah,” seperti nyanyian mereka di Stadion Anfield.
Kegagalan Liverpool menjuarai Liga Primer Inggris 2018-2019 menyisakan rasa pahit untuk yang ketiga kali dalam satu dekade. Pada musim 2008-2009, Liverpool memiliki peluang besar untuk mengangkat piala, tetapi harus menguburnya dan rela berada di bawah rival abadi, Manchester United.
Lima tahun berikutnya, tepatnya pada musim 2013-2014, Liverpool sangat dekat dengan juara. Namun, lagi-lagi mereka gagal karena insiden terpelesetnya Steven Gerrard saat menghadapi Chelsea.
Kegagalan serupa terjadi lima musim berikutnya, yakni pada 2018-2019. Liverpool kembali gagal meraih mimpinya. Padahal, mereka memiliki peluang yang besar untuk mengangkat piala setelah jauh meninggalkan Manchester City pada awal 2019. Sayangnya, mereka gagal meraih poin penuh melawan tim-tim medioker, seperti Everton, West Ham, dan Leicester City.
Seperti kegagalan di dua musim sebelumnya, mereka memiliki penyerang kelas dunia. Pada musim 2008-2009, Liverpool memiliki Fenando Torres, 2013-2014 memiliki Luis Suarez, dan 2018-2019 memiliki Mohamed Salah serta Sadio Mane yang mampu menjadi pencetak gol terbanyak di liga.
Manajer Liverpool Juergen Klopp pun memuji timnya yang nyaris sempurna. ”Tim ini adalah salah satu yang terbaik yang pernah bermain untuk Liverpool, 100 persen,” ujar Klopp, Senin (13/5/2019), kepada Reuters.
Persoalannya, tim terbaik itu harus berkompetisi di liga yang sangat ketat. Liverpool harus bersaing dengan tim-tim yang memiliki kualitas pemain, kekuatan finansial, dan kekuatan lain yang membuat persaingan menjadi ketat.
Berkaca pada musim 2008-2009, selain Fernando Torres, Liverpool juga memiliki sederet pemain tenar, seperti Xabi Alonso, Steven Gerrard, Dirk Kuyt, dan Javier Mascherano. Pada musim 2013-2014, selain Suarez, Liverpool memiliki Steven Gerrard, Philippe Coutinho, dan Raheem Sterling.
Sederet pemain tenar itu membuat manajer dan penggemar Liverpool yakin dapat menjadi yang terbaik di Liga Primer Inggris pada musim berikutnya. Namun, pada kenyataannya Liverpool gagal dan berujung pada pemecatan manajer Liverpool yang saat itu dijabat Rafael Benitez dan Brendan Rodgers.
Seperti Juergen Klopp, dua manajer tersebut juga dipuja-puja oleh para penggemarnya, khususnya Benitez yang mampu menyumbangkan sederet prestasi, salah satunya juara Liga Champions musim 2004-2005.
Dukungan
Suporter Liverpool yang dikenal militan dan setia sering kali membawa spanduk bergambar Benitez serta mengelu-elukan namanya. Hal serupa dilakukan kepada Klopp. Mereka membawa spanduk besar dan menuliskan ”In Klopp, We Trust”.
Mereka menyandingkan Klopp dengan gambar Bill Shankly yang telah menorehkan banyak prestasi bagi Liverpool. Hal tersebut menunjukkan Klopp diharapkan akan memberikan banyak piala bagi Liverpool walaupun hingga sekarang belum ada satu prestasi pun yang ia torehkan, kecuali menjadi peringkat kedua di berbagai kompetisi.
Tidak hanya kepada Klopp, Kopites juga memberikan dukungan kepada para pemain melalui nyanyian dan poster. Mereka menganggap pemain tersebut sebagai bagian dari keluarga mereka. Sebagai contoh, seusai laga melawan Wolverhampton Wanderers pada pekan terakhir, putri Mohamed Salah, Makka, diberikan tepuk tangan meriah dan sorak-sorai setelah menggiring serta menendang bola ke gawang.
Dukungan yang besar terhadap pemain tersebut sering kali membuat para mantan pemain rindu dengan suasana di Liverpool, seperti yang diungkapkan Coutinho di akun Instagram-nya. ”Sejak saya datang di Liverpool, saya dan keluarga saya merasakan sambutan yang luar biasa dan mempunyai banyak teman,” ujarnya.
Baca juga: Perfeksi di Tanah Inggris
Padahal, Coutinho saat itu bukan seorang bintang besar. Ia hanya pemain muda biasa yang terpinggirkan di Inter Milan, bahkan harus dipinjamkan di Espanyol karena tidak mendapatkan tempat di ”I Nerazzuri”. Ia hanya dibeli dengan harga 8,5 juta pound.
Seperti pemain muda lain, Coutinho harus beradaptasi dan permainannya tidak konsisten. Namun, pada situasi tersebut tidak ada Kopites yang mencemoohnya.
Baca juga: Liga Inggris Menembus Batas
Berbeda dengan saat di Barcelona. Ketika klub asal Catalunya itu membeli Coutinho dari Liverpool dengan harga fantastis senilai 142 juta pound, pendukung Barcelona mengelu-elukan Coutinho dan memprediksi bakal menjadi trisula mematikan bersama dengan Lionel Messi dan Luis Suarez.
Sayangnya, Coutinho jarang dimainkan karena permainannya tidak konsisten seperti saat musim awal di Liverpool. Berbeda dengan di Liverpool, Coutinho dicecar habis-habisan oleh publik Camp Nou karena dipandang bermain buruk, terutama pada pertandingan semifinal kedua Liga Champions ketika melawan Liverpool di Anfield.
Saat melawan Getafe di Camp Nou, Coutinho disambut dengan siulan kritik nyaris sepanjang pertandingan. Ketika Coutinho meninggalkan lapangan dengan kepala tertunduk dan digantikan Abel Ruiz pada menit ke-69, siulan masih terdengar. Padahal, seperti yang dikabarkan Marca, Coutinho digantikan karena cedera otot.
Situasi yang dialami Coutinho jarang terdengar di Liverpool. Suporter lebih suka memberikan dukungan daripada mencemooh, seperti yang dialami Suarez. Ketika ia terlibat kasus rasisme terhadap Patrice Evra pada Oktober 2011 dan menggigit bek Chelsea, Branislav Ivanovic, sehingga menyebabkan ia dilarang bertanding, tak ada pendukung Liverpool yang mencemoohnya. Padahal, hal tersebut jelas merugikan skuad Liverpool.
Kasus terbaru, Suarez melakukan perayaan berlebihan di depan Kopites setelah mencetak gol ke gawang Alisson Becker pada semifinal pertama Liga Champions. Meskipun membuat kecewa Kopites, mereka tidak menaruh dendam dan tetap menyambutnya saat datang ke Anfield. Suarez pun minta maaf dan dengan bangga ia menunjukkan foto bersama Coutinho di depan logo Liverpool.
Ujian
Kesetiaan Kopites pun diuji setelah kegagalan Liverpool mengangkat tropi Liga Primer Inggris 2018-2019. Dukungan mereka sangat dibutuhkan Klopp bersama dengan pasukannya saat melawan Tottenham Hotspur pada partai puncak Liga Champions UEFA di Wanda Metropolitano, Madrid, 1 Juni 2019.
Publik akan menunggu hal-hal besar apa yang akan dilakukan Kopites untuk mendukung Liverpool. Tentu pendukung Liverpool akan menantikan kisah seperti yang ada pada film One Night in Istanbul yang dirilis pada 2014 lalu .
Film garapan James Marquand tersebut menggambarkan kesetiaan dan perjuangan Kopites untuk mendukung Liverpool. Dua pendukung Liverpool, Tommy dan Gerry, jatuh bangun dan mengalami berbagai rintangan menuju Istanbul, Turki, untuk dapat melihat Liverpool bertanding melawan AC Milan pada partai Final Liga Champions 2004-2005.
Sebaliknya, bagi pembenci, Liverpool seperti mantan pemain Everton dan Manchester United, Wayne Rooney, berharap hal buruk terjadi kepada Liverpool. Ia mengungkapkan rasa bencinya kepada Liverpool jelang pekan terakhir Liga Primer Inggris.
”Saya tidak tahan melihat mereka (Liverpool) menang, itu akan menjadi mimpi buruk bagi Evertonian,” ujar pemain kelahiran Liverpool tersebut, seperti yang ditulis Mirror. Ia menambahkan, jika Liverpool juara, Kopites akan membicarakannya terus-menerus, seperti saat Liverpool juara Liga Champions 2005 yang masih dibanggakan hingga sekarang.
Saat ini, mungkin Rooney tertawa melihat Liverpool kembali gagal meraih piala Liga Primer Inggris. Namun, ia mungkin akan kecewa jika Liverpool mampu menumbangkan Tottenham sebab Kopites akan membicarakannya untuk 10 atau 15 tahun ke depan. Perasaan Rooney tersebut akan terjawab dua pekan ke depan.
Akan tetapi, bagi Kopites, keberhasilan dan kegagalan bukan ukuran untuk menguji kesetiaan mereka. Mereka tetap akan datang ke stadion dan menyanyikan We Shall Not Be Moved dan You’ll Never Walk Alone atau berkumpul dengan keluarga serta teman untuk menyaksikan pertandingan Liverpool selanjutnya di layar kaca.