JAKARTA, KOMPAS—Masyarakat adat menjadi benteng terakhir penyelamatan keragaman tanaman pangan di Indonesia. Pola penanaman beragam jenis tanaman lokal pada masyarakat adat juga menjadi kunci ketahanan pangan dan keseimbangan nutrisi mereka.
"Kita sebenarnya memiliki beragam tanaman serealia (biji-bijian) sumber pangan non-beras. Ini sumber hayati penting yang harus dijaga," kata Marcia Pabendon, peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Serelia, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Senin (13/5/2019).
Beberapa jenis tanaman serealia tanaman pangan tersebut di antaranya sorgum (Sorghum spp), jewawut (Setaria italica), dan jelai (Hordeum vulgare), selain beragam jenis jagung dan padi lokal. Menurut Marcia, di banyak daerah, beragam tanaman lokal ini masih cukup banyak hingga tahun 1980-an, namun saat ini sudah sangat langka.
"Baru-baru ini saya mencari petani yang masih menanam jewawut di Lembata, Nusa Tenggara Timur(NTT), baru ketemu setelah jalan jauh ke atas gunung. Padahal dulu katanya banyak sekali. Rata-rata daerah yang terjangkau sudah ditanami jagung hibrida karena petani mengalihkan perhatiannya ke tanaman komersial," katanya.
Beragam tanaman lokal ini, kebanyakan masih dibudidayakan karena kepentingan adat. "Di banyak masyarakat lokal, tanaman serealia ini menjadi bagian dari kepercayaan mereka. Misalnya, di Hokeng, Flores Timur, saya mendapat jewawut dari petani yang turun temurun menanamnya karena secara adat mereka tidak boleh makan beras," ungkapnya.
Di banyak masyarakat lokal, tanaman serealia ini menjadi bagian dari kepercayaan mereka.
Budidaya beragam jenis pangan lokal juga dilakukan masyarakat adat Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, seperti jewawut, sorgum, jagung lokal, selain padi lokal. Dengan menanam ragaman pangan ini, masyarakat Boti bisa memenuhi pangan sendiri.
Bahkan, menurut Kepala Desa Boti Balsasar Benu, di Boti tidak ada kasus gizi buruk dan tengkes atau stunting. Padahal angka tengkes di Kabupaten TTS pada tahun 2017 menurut data Kementerian Kesehatan 53,4 persen, salah satu yang tertinggi di Indonesia.
Pangan bergizi
Menurut Marcia, aneka jenis serealia ini juga memiliki nutrisi yang baik, selain juga bebas gluten dan memiliki indeks glikemiks lebih rendah dari beras.
Oleh karena itu, kehilangan ragam pangan lokal non-beras ini merupakan kerugian besar. Ketergantungan pada satu spesies tanaman pangan akan membuat kita rawan pangan dan tergantung pada impor. "Tiap jenis tanaman ini memiliki karakteristik dan kecocokandengan lingkungan setempat," ujarnya.
Marcia mencontohkan, kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT), yang selama ini dikenal beriklim kering bisa mencukupi pangan jika mau mengembangkan sorgum. "Sorgum butuh cahaya matahari 9 - 12 jam sehari sehingga cocok di NTT. Tanaman ini memiliki efisiensi fotosintensis sangat tinggi, sehingga bisaoptimal di tanah dengan sumber hara terbatas. Jika sorgum ditanam di Jawa atau Sulawesi masih butuh dipupuk, di NTT tidak perlu pupuk," ucapnya.
Ekologis
Biolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga National Focal Point Indonesia untukThe Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) Prof Gono Semiadi mengatakan, masyarakat adat telah diakui sebagai garda terdepan dalam menjaga keragaman hayati. Pengakuan ini tertuang dalam laporan IPBES tentang ancaman kepunahan satu juta spesies akibat ulah manusia.
Dalam rekomendasi IPBES untuk pengambil kebijakan disebutkan, pelibatan masyarakat adat dan komunitas lokal, dapat menjadi cara yang efektif untuk melindungi alam. Kontribusi positif dari masyarakat adat dan komunitas lokal untuk keberlanjutan seharusnya difasilitasi melalui pengakuan nasional atas penguasaan lahan, akses dan hak sumber daya sesuai dengan undang-undang. "Di Indonesia sebenarnya sekarang kita sudah mengarah ke sana dengan perhutanan sosial," kata Gono.