Mayoritas dari 125.000 Rumpon Dinilai Ilegal
Ilustrasi _ Sebagian nelayan menggunakan ban bekas untuk dibuat menjadi rumpon bagi ikan di sekitar pesisir utara, seperti di Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (22/9/2017).
JAKARTA, KOMPAS - Penggunaan rumpon ikan di perairan Indonesia sangat masif. Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, setidaknya 125.000 rumpon tersebar di perairan Indonesia, sebagian besar dinyatakan ilegal.
Rumpon merupakan alat bantu pengumpul ikan yang menggunakan berbagai bentuk dan jenis pengikat dari benda padat untuk memikat ikan agar berkumpul, dan dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Zulficar Mochtar mengemukakan, keberadaan 125.000 rumpon ikan itu tersebar di berbagai wilayah perairan sebagai alat mengumpulkan ikan. Sebagian besar rumpon ikan tersebut berada pada lingkup kewenangan izin pusat.
“Hingga saat ini, KKP belum pernah mengeluarkan izin atau rekomendasi rumpon, sehingga (rumpon) yang ada bisa dikatakan ilegal,” kata Zulficar, di Jakarta, Senin (13/5/2019), seraya menambahkan, pemerintah pusat juga belum pernah melakukan pungutan terkait rumpon.
Zulficar menambahkan, sebagian rumpon ikan juga dimiliki pemodal asing, yakni ditempatkan di sekitar perairan perbatasan RI untuk memudahkan mencuri ikan dari perairan Indonesia. Kondisi itu juga dinilai turut mengganggu pola migrasi dan pergerakan ikan.
Sebagian rumpon dimiliki oleh pemodal asing, ditempatkan di sekitar perairan perbatasan, untuk memudahkan mencuri ikan dari Indonesia.
“Jumlah (rumpon) yang demikian besar dan tidak teratur ini membuat ruaya dan pergerakan ikan terganggu. Kalau tidak dibenahi, bisa-bisa nantinya ikan tidak ke pinggir (tepi). Ekosistem terganggu,” katanya.
Selain berdampak ekologis, kasus rumpon ikan juga diakui rawan menimbulkan konflik sosial. Nelayan yang tidak memiliki rumpon cenderung dirugikan, karena ikan lebih banyak berkumpul di dekat rumpon milik individu atau perusahaan. Disamping itu, mengganggu jalur pelayaran nelayan.
Rumpon asing
Penggunaan rumpon diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 Tahun 2014 tentang Rumpon. Rumpon hanya boleh digunakan oleh kapal penangkapan ikan yang memakai alat tangkap pukat cincin, pancing ulur dan pancing berjoran. Pemanfaatan rumpon di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI memiliki surat izin pemasangan rumpon (SIPR).
Zulficar mengemukakan, pemerintah saat ini masih terus melakukan pendataan status dan kepemilikan rumpon. Selain itu, melakukan prioritas target dan lokasi penertiban. “Prioritas utama yakni di sekitar perairan perbatasan, dan rumpon (yang dimiliki) asing,” katanya.
Pekan lalu, kapal pengawas perikanan KKP Hiu 15 di Tahuna Sulawesi Utara menertibkan 4 alat bantu penangkapan ikan rumpon ilegal milik nelayan Filipina di perairan Sulawesi Utara. Rumpon-rumpon tersebut dipasang tanpa izin di perairan Indonesia dan masuk sekitar 3 mil laut di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Agus Suherman, mengemukakan, nelayan Filipina ditenggarai memasang banyak rumpon di wilayah perbatasan Indonesia-Filipina untuk meningkatkan hasil tangkapan. Setidaknya selama 2019, sebanya 33 unit rumpon milik nelayan Filipina ditertibkan Kapal Pengawas Perikanan.
“Pemasangan rumpon oleh nelayan Filipina di perbatasan dapat merugikan nelayan Indonesia karena ikan-ikan akan berkumpul di area rumpon dan tidak masuk ke perairan Indonesia,” katanya.
Penertiban Bertahap
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Mohammad Abdi Suhufan, mengemukakan, merebaknya rumpon di dalam negeri antara lain dipicu pemerintah yang cenderung membiarkan maraknya rumpon tanpa pengawasan.
“Pengawasan (rumpon) minim, sehingga terlanjur menjamur, baik dimiliki nelayan atau masyarakat lokal, maupun perusahaan,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah perlu menjemput bola meminta pemilik rumpon secara aktif dan sukarela melaporkan keberadaan rumpon mereka di laut. Upaya penertiban rumpon perlu dilakukan bertahap dengan memperhitungkan risiko sosial.
Persoalannya, pemanfaatan rumpon sudah cenderung telah menimbulkan konflik horizontal antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang. “ Kalau penertiban rumpon dilakukan secara keras dan tegas, dikhawatirkan menimbulkan gejolak sosial baru antara nelayan dengan pemerintah,” katanya.
Baca juga: KKP Tertibkan Rumpon Ilegal di Perbatasan Indonesia-Filipina