Uber, perusahaan teknologi berbasis berbagi tumpangan (ride hailing), sudah menawarkan saham perdana (IPO) di lantai bursa New York akhir pekan lalu. Hasilnya kurang menggembirakan karena harga sahamnya jatuh 7,6 persen ketika pasar ditutup.
Oleh
Andreas Maryoto
·3 menit baca
Uber, perusahaan teknologi berbasis berbagi tumpangan (ride hailing), sudah menawarkan saham perdana (IPO) di lantai bursa New York akhir pekan lalu. Hasilnya kurang menggembirakan karena harga sahamnya jatuh 7,6 persen ketika pasar ditutup. Valuasi Uber yang semula diperkirakan mencapai di atas 100 miliar dollar AS sudah tentu tak tercapai. Pelajaran berharga bagi pelaku bisnis berbagi tumpangan di Indonesia.
Menjelang penawaran saham perdana, euforia mewarnai hari-hari menjelang IPO yang dilakukan pada Jumat (10/5/2019) waktu Amerika Serikat. Salah satu analis menyebutkan, valuasi saham Uber yang beredar di pasar-pasar privat sekitar 76 miliar dollar AS, tetapi saat IPO diperkirakan bisa mencapai 90 miliar dollar AS hingga 120 miliar dollar AS. Akan tetapi, penawaran saham perdana Uber ini dibayang-bayangi nasib tragis IPO pesaing Uber, yaitu Lyft. Pasca-IPO, saham mereka malah turun.
Penawaran saham perdana Uber ini dibayang-bayangi nasib tragis IPO pesaingnya, yaitu Lyft. Pasca-IPO, saham mereka malah turun.
Masalah lain, selama ini mereka dirundung berbagai skandal, seperti tuduhan pelecehan seksual, pengintipan data, dan penggunaan perangkat lunak untuk menghindar dari otoritas. Berbagai kasus ini sudah barang tentu membuat citra Uber tercoreng. Beberapa investor sempat meminta penjelasan mengenai penanganan kasus ini. Travis Kalanick terpaksa harus turun dari tampuk pimpinan Uber hingga digantikan oleh Dara Khosrowshahi yang menjadi CEO hingga saat ini.
Bisnis transportasi daring ke depan juga dilihat salah satu analis sebagai bisnis yang tak mudah memproteksi konsumen dan pengemudi hanya bersandar pada satu aplikasi. Mereka tak memiliki kesetiaan tunggal. Mereka memiliki beberapa aplikasi dan selalu membandingkan keuntungan tiap aplikasi saat mereka menggunakannya. Salah satu analis mengatakan, jika demikian, sampai kapan mereka akan mendapat profit?
Tak mengherankan apabila Uber menawarkan saham kepada pengemudi setia untuk menarik mereka menggunakan aplikasi Uber secara terus-menerus. Uber ingin mendapatkan kesetiaan dari para pengemudi dengan menawarkan saham itu. Perusahaan-perusahaan transportasi daring juga terus mencari cara agar menarik bagi konsumen.
Meski hari pertama tak menggembirakan, ada analis yang mengingatkan, dulu sewaktu IPO, Amazon juga mirip dengan Uber. Para pembeli saham Amazon yang terjebak pada pemikiran keuntungan saja mengabaikan saham ini karena tak terlihat keuntungan dalam waktu dekat. Sebaliknya, para pembeli saham yang melihat pertumbuhan valuasi perusahaan itu akhirnya memetik buah manis setelah beberapa tahun.
Apa makna kasus Uber ini bagi perusahaan sejenis di dalam negeri? Secara umum mereka yang terjun ke bisnis ini perlu memastikan tak terjadi skandal, secara khusus skandal terkait data, yang memperburuk citra mereka. Skandal menjadi beban dalam berkomunikasi dengan investor.
Mereka juga perlu mencari langkah untuk memberikan sinyal kepada investor bahwa mereka akan memberi keuntungan pada masa depan. Sinyal ini memang tak mudah didapat karena menaikkan harga bakal memukul balik mereka. Ketika harga naik, konsumen bisa lari dari aplikasi.
Status Go-Jek dan Grab sebagai aplikasi super, satu aplikasi dengan beragam layanan, mungkin bisa mempermudah mereka memberi sinyal ke pasar. Uber yang sangat bergantung hanya pada layanan berbagi tumpangan sangat berbeda dengan Go-Jek dan Grab di Asia Tenggara. Dengan status aplikasi super, mereka bisa memperlihatkan kepada investor beberapa kaki bisnis mereka yang mulai menampakkan harapan.