Perang Dagang AS-China Memanas, Bursa Global Anjlok
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO
·3 menit baca
TOKYO, SELASA — Saham-saham di Asia memperpanjang tren pelemahannya pada awal perdagangan, Selasa (14/5/2019), menyusul penurunan tajam di Wall Street semalam. Hal itu terjadi di tengah penguatan mata uang yen dan imbal hasil Treasury AS yang lebih rendah serta merespons situasi perang dagang antara China dan Amerika Serikat yang memanas.
Indeks MSCI untuk saham Asia Pasifik di luar Jepang turun 0,4 persen, menyentuh level terendah sejak 15 Februari. Indeks saham Australia turun 1,2 persen, sementara indeks saham Nikkei Jepang anjlok 1,9 persen. Indeks future S&P 500 e-mini terpantau datar di dekat posisi terendah dalam kurun tujuh pekan.
China pada hari Senin mengumumkan akan mengenakan tarif yang lebih tinggi pada barang-barang AS senilai 60 miliar dollar AS. Hal itu merupakan respons sekaligus balasan Beijing terhadap keputusan Washington pada pekan lalu untuk menaikkan tarif atas 200 miliar dollar AS pada impor asal China. Kantor Perwakilan Dagang AS juga mengatakan, pihaknya berencana mengadakan dengar pendapat publik bulan depan tentang kemungkinan mengenakan bea hingga 25 persen untuk impor senilai lebih dari 300 miliar dollar AS dari China.
Peningkatan tarif telah mengguncang pasar global meskipun Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa dirinya akan bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping bulan depan. Pada hari Senin, Indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 2,38 persen menjadi 25.324,99, sedangkan Indeks S&P 500 kehilangan 2,41 persen menjadi 2.811,87, sementara Indeks Nasdaq Composite ambles 3,41 persen menjadi 7.647,02.
Ketika investor berbondong-bondong membeli aset safe-haven, imbal hasil Treasury AS tetap dekat posisi terendah enam pekan pada Selasa ini. Imbal hasil Treasury 10-tahun di level 2,39 persen dibandingkan dengan penutupan pasar AS di level 2,41 persen pada hari Senin. Imbal hasil dua tahun, yang naik seiring dengan ekspektasi pedagang terhadap suku bunga dana Fed yang lebih tinggi, turun ke level 2,18 persen dari penutupan pasar AS di level 2,19 persen. Hal ini setelah data dari CME Group menunjukkan lebih dari 75 persen terbuka peluang pemotongan suku bunga The Fed pada akhir 2019.
Pada hari Senin, sejumlah pelaku pasar khawatir bahwa China, kreditor asing AS terbesar, dapat mencairkan kepemilikannya untuk melawan sikap pengetatan perdagangan pemerintahan Trump. Namun, sebagian besar analis menganggap analisa itu sebagai angin lalu.
”Jika China memang mulai (menjual obligasi), itu akan menekan kedua sisi politik di AS melawan China dan The Fed akan masuk ke pasar untuk membeli obligasi,” kata Greg McKenna, ahli strategi di McKenna Macro, dalam sebuah catatan kepada klien. ”Itu akan memperluas neraca, tetapi akan memungkinkannya untuk menetralisasi upaya China mengganggu pasar keuangan AS. Jadi, saya ragu mereka akan mencoba menjual obligasi.”
Di pasar mata uang, dollar AS turun 0,1 persen terhadap yen di level 109,20 per dollar AS. Indeks dollar AS berada sedikit lebih rendah di level 97,285. Kekhawatiran atas meningkatnya perang dagang juga menghantam pasar komoditas, membuat minyak mentah AS turun 0,11 persen menjadi 60,97 dollar AS per barel. Minyak mentah Brent turun 0,3 persen menjadi 70,01 dollar AS per barel. (REUTERS)