Perangi Penangkapan Ilegal, Regulasi dan Implementasi yang Tegas Diperlukan
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wilayah lautan pesisir (coastal seas) seluas hanya 7 persen dari total lautan dunia. Namun, dari sanalah 95 persen produksi industri perikanan dunia sehingga perlu regulasi dan implementasi yang tegas untuk melindunginya, seperti memerangi penangkapan ilegal dan tidak terlaporkan.
Tidak seperti yang banyak dipahami, pembatasan dan penegakan aturan konservasi laut justru takkan mengganggu industri. Bahkan regulasi akan mendorong produktivitas lebih baik dan ketersediaan ikan yang terjaga di laut.
”Produktivitas industri membutuhkan sustainability,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam diskusi seusai pemutaran salah satu episode serial film dokumenter Our Planet berjudul ”Coastal Seas” di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (14/5/2019).
Serial dokumenter tersebut adalah hasil kolaborasi organisasi konservasi World Wildlife Fund (WWF) dan Silverback Films untuk media film berbayar Netflix. Dalam kesempatan itu, hadir juga CEO WWF Indonesia Rizal Malik dan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy.
Tindakan tegas dalam kedaulatan laut di perairan Indonesia diperlukan, kata Susi, untuk memperbaiki kesejahteraan nelayan dan konservasi lingkungan. Bantuan alat pancing dan kapal kepada nelayan tidak akan berguna apabila ikan di perairan Indonesia dikuras oleh kapal ikan asing secara ilegal.
Susi mengatakan, memburuknya industri perikanan Indonesia ditengarai bermula pada 2001 ketika Kementerian Perikanan pada saat itu mengizinkan kapal ikan asing menggunakan bendera Indonesia.
”Pada 2001 itulah illegal, unreported, and unregulated fishing semakin masif karena mereka memiliki ’bungkus’ yang legal. Mereka beli izinnya satu, tetapi kapalnya ada sepuluh, dua puluh, kapal dengan cat dan nama yang sama,” kata Susi.
Akibatnya, jumlah rumah tangga nelayan pun menurun. Berdasarkan data Sensus Pertanian BPS, jumlah rumah tangga usaha penangkapan ikan 1,6 juta. Pada 2013, jumlahnya turun 44,9 persen menjadi 868.414 rumah tangga.
Stok ikan meningkat
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah stok ikan Indonesia pada 2014 sebesar 7,1 juta ton. Jumlah ini meningkat menjadi 12,5 juta ton dalam waktu dua tahun seiring penindakan tegas yang dilakukan KKP terhadap kapal asing yang melakukan penangkapan ikan ilegal.
Volume ekspor komoditas kelautan juga meningkat. Volume ekspor udang pun meningkat, dari 162.000 ton pada 2015 menjadi 197.000 ton pada 2018. Pada 2015, nilai ekspor udang sekitar 1,4 miliar dollar AS. Sementara pada 2018 menjadi 1,7 miliar dollar AS.
Bahkan, berdasarkan hasil penelitian Badan Litbang KKP dengan University of California Santa Barbara, kebijakan anti-illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing yang dilakukan KKP berpotensi untuk meningkatkan 224 persen biomasa ikan, 100 persen jumlah tangkapan ikan, dan memberikan keuntungan ekonomi sebesar 3,7 miliar dollar AS pada 2050.
Dalam episode yang ditayangkan itu, bentang alam kepulauan Raja Ampat di Papua Barat disebut menjadi contoh yang baik mengenai implementasi regulasi dalam industri perikanan.
Kesadaran masyarakat
Rizal mengatakan, populasi ikan hiu di perairan Raja Ampat meningkat 25 kali lipat dibandingkan saat sebelum pembatasan penangkapan dimulai pada 2007. Keberadaan ikan hiu pun memberikan keseimbangan ekosistem pada terumbu karang dan meningkatkan populasi ikan tangkapan hingga tiga kali lipat.
”Kalau kita teruskan gaya konsumsi seperti ini, kita akan menuju kepunahan. Tetapi, di sini ditunjukkan bahwa manusia juga memiliki kemampuan untuk berusaha membelokkan kecenderungan itu,” kata Rizal.
Membangun kesadaran warga negara, lanjut Rizal, untuk ikut serta dalam upaya melestarikan lingkungan adalah tantangan terbesar.
Ninuk pun berpandangan yang sama. Dalam upaya peningkatan kesadaran publik, media memiliki peran dan tugas yang penting. Ia menyebutkan, meski Indonesia memiliki lautan yang sangat luas, sebagai bangsa Indonesia, budaya kelautan jarang dibicarakan.
Dengan alasan itu, kata Ninuk, Kompas pada dua tahun silam menyelenggarakan Ekspedisi Terumbu Karang untuk melihat kekayaan alam dan juga berbagai tradisi yang dapat menjaga keberlanjutan masyarakat nelayan pantai.
”Diharapkan ini dapat menjadi pelajaran bagi komunitas masyarakat pesisir untuk menjaga tradisi yang baik bagi lingkungan,” ujar Ninuk.