Skema perhutanan sosial di Sumatera Barat diharapkan bisa menjadi jalan untuk menyejahterakan masyarakat. Adanya legalitas membuat masyarakat bisa mengelola hutan yang selama ini belum maksimal dimanfaatkan.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Skema perhutanan sosial di Sumatera Barat diharapkan bisa menjadi jalan untuk menyejahterakan masyarakat. Adanya legalitas membuat masyarakat bisa mengelola hutan yang selama ini belum maksimal dimanfaatkan.
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menyampaikan hal itu di Padang ketika menjadi pembicara dalam Diseminasi Nasional Penguatan Perencanaan dan Kebijakan Perhutanan Sosial untuk Kesejahteraan Masyarakat, Selasa (14/5/2019).
Irwan mengatakan, perhutanan sosial bisa menjadi jalan keluar untuk mengentaskan masyarakat miskin di pinggiran hutan.
”Selama ini hutan tidak bisa diapa-apakan. Sementara itu, banyak masyarakat hidup miskin di pinggiran hutan. Dengan adanya skema perhutanan sosial, masyarakat bisa mengelola hutan untuk meningkatkan kesejahteraan,” kata Irwan.
Selama ini hutan tidak bisa diapa-apakan. Sementara itu, banyak masyarakat hidup miskin di pinggiran hutan. Dengan adanya skema perhutanan sosial, masyarakat bisa mengelola hutan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Irwan memaparkan, Sumbar memiliki kawasan hutan sekitar 2,3 juta hektar atau 57 persen dari wilayah daratan. Dari jumlah itu, pemerintah provinsi telah mengalokasikan 500.000 hektar hutan untuk perhutanan sosial.
Setidaknya, sudah ada 138 perizinan perhutanan sosial dengan luas areal 205.773 hektar. Rinciannya, 86 hutan nagari/desa seluas 170.185 hektar, 46 hutan kemasyarakatan seluas 28.418 hektar, 4 hutan tanaman rakyat seluas 6.935 hektar, 1 kelompok hutan adat seluas 35 hektar, dan 1 kelompok kemitraan kehutanan seluas 200 hektar.
Selasa ini, perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menyerahkan surat keputusan izin hutan sosial seluas 30.000 hektar untuk kelompok hutan nagari dan hutan kemasyarakatan.
”Sebanyak 30.000 hektar lagi sedang dalam proses (di kementerian). Beberapa hektar lagi akan diproses melalui bupati/wali kota untuk bisa lebih banyak lagi,” ujar Irwan.
Meskipun demikian, pemberian legalitas untuk mengelola hutan tidak berarti mempermudah masyarakat masuk ke hutan dan memperlakukan hutan dengan semena-mena. Irwan menyebutkan, ada rambu yang harus diikuti. ”Jangan rusak hutan.”
Pemanfaatan hutan sosial pun lebih diarahkan untuk hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, manau, madu, getah, buah, kulit, dan minyak. Pemanfaatan kawasannya bisa untuk kegiatan agroforestry berupa gabungan tanaman pertanian dan kehutanan, kegiatan silvopasture berupa gabungan peternakan dan kehutanan, silvofishery berupa gabungan perikanan dan kehutanan, pemanfaatan jasa lingkungan air, ekowisata, perdagangan karbon, dan lainnya.
Sebelumnya, Pemprov Sumbar sudah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 52 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Fasilitasi Perhutanan Sosial. Pergub itu memiliki tujuan utama untuk mendukung percepatan fasilitasi bagi masyarakat dalam penyiapan dan pengembangan usaha perhutanan sosial.
Selanjutnya, menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan serta pelestarian fungsi hutan. Terakhir, mengatur koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dalam peningkatan peran serta para pihak dalam mendukung perhutanan sosial.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto mengatakan, pendampingan masyarakat menjadi penting dalam skema perhutanan sosial. Setelah mendapatkan izin, masyarakat harus membuat rencana kerja usaha, yaitu rencana ruang dan rencana pemanfaatan ruang.
”Ada ruang yang harus dilindungi, seperti sumber mata air, ada ruang yang boleh dimanfaatkan,” kata Bambang. Hal lain yang harus diperhatikan adalah penguatan kelembagaan dan transparansi nilai produksi.
Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf, menambahkan, selain meningkatkan perekonomian dan alat resolusi konflik sumber daya alam, skema perhutanan sosial juga dapat menahan laju deforestasi. Salah satu contohnya, hutan desa di kawasan Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba), Jambi, yang didampingi KKI Warsi.
Berdasarkan analisis KKI Warsi, laju deforestasi di kawasan itu dari tahun 2000 hingga 2013 hanya 2 persen. Sementara itu, tahun 2013-2018 laju deforestasi nol. ”Hutan sosial mampu mencegah kerusakan hutan,” kata Rudi.