JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sebagai negara peratifikasi Konvensi Basel agar segera mempersiapkan instrumen pengelolaan dan pengawasan perdagangan sampah plastik antarnegara. Ini menyikapi hasil pasca-Amandemen Konvensi Basel yang diputuskan 187 negara dalam sidang Konferensi Para Pihak PBB untuk Konvensi Basel, Konvensi Rotterdam, dan Konvensi Stockholm.
Ketetapan yang berstatus legally binding (berkekuatan hukum/wajib) tersebut mulai berlaku penuh pada 1 Januari 2021. “Dalam rangka menuju ke situ Indonesia harus melakukan sosialisasi, diantaranya ke Bea Cukai. Karena yang jalankan itu Bea Cukai,” kata Agus Haryono, Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Senin (13/5/2019), di Jakarta.
Agus menjadi delegasi Indonesia dalam sidang maraton pada 29 April - 10 Mei 2019 di Jenewa, Swiss tersebut. Sidang tersebut merupakan Konferensi Para Pihak (COP) ke-14 Konvensi Basel, COP-9 Konvensi Rotterdam, dan COP-9 Konvensi Stockholm.
Ia mengatakan, proses sidang yang mengendalikan perdagangan limbah plastik hasil Proposal Norwegia tersebut berlangsung alot. Selama ini sampah plastik hanya masuk dalam Annex IX atau komoditas perdagangan yang tak perlu diatur antarnegara. Kini, sampah plastik – sesuai kriteria – masuk dalam Annex II dan Annex VIII yang membutuhkan notifikasi dari negara eksportir ke negara tujuan dan mendapat persetujuan dari negara tujuan.
Agus mengakui awalnya Indonesia ragu mengikuti Proposal Norwegia untuk mengatur perdagangan sampah plastik karena memikirkan nasib industri. Namun keputusan akhir Konvensi Basel tersebut, dinilai Agus, bagus dan malah menguntungkan Indonesia agar tidak menjadi tempat sampah.
Awalnya Indonesia ragu mengikuti Proposal Norwegia untuk mengatur perdagangan sampah plastik karena memikirkan nasib industri.
Mantan Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI tersebut mengatakan, beberapa praktik saat ini impor materi plastik bekas untuk daur ulang tercampur dengan berbagai jenis sampah. Hal ini menyebabkan sampah-sampah kontaminan dan sampah yang tak dapat didaur ulang itu menjadi beban bagi lingkungan di Indonesia karena mencemari tanah, sungai, dan berpotensi terlepas ke lautan.
Kondisi seperti itu diperkirakan mulai terjadi sejak setahun lalu, saat China melarang impor limbah sampah plastik ketika menyadari dampaknya bagi lingkungan dan kesehatan. “Negara pengekspor sampah plastik seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa kebingungan membuang ke mana, kebanyakan ya ke negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia,” kata dia.
Lebih lanjut, ia mengatakan impor materi sampah plastik daur ulang masih diperbolehkan asal tidak ada pengotor (clean plastic). Hal ini menguntungkan bagi Indonesia maupun industri daur ulang karena mendapatkan material yang bersih dan seluruhnya habis diproses.
Agus mengatakan, pelaksanaan amandemen Konvensi Basel ini membutuhkan pengawasan kuat dari aparat Bea dan Cukai. Ini karena kepiawaian dan pengetahuan petugas di lapangan untuk mengecek dan memverifikasi kondisi barang impor tersebut sangat menentukan pengawasan. Sesuai Konvensi Basel, bila isi pengiriman tersebut tak sesuai dengan notifikasi yang diterima dan diizinkan Pemerintah Indonesia, kontainer tersebut bisa dikembalikan ke negara asal.
Pelaksanaan amandemen Konvensi Basel ini membutuhkan pengawasan kuat dari aparat Bea dan Cukai.
Ia pun mengatakan penerapan Konvensi Basel juga membutuhkan kerja sama dari importir yaitu industri daur ulang yang mendatangkan materi daur ulang berupa sampah plastik bekas dari luar negeri. Importir agar juga menolak bila material daur ulang tercampur dengan bahan pengotor.
Mempertegas klasifikasi
Kepala Divisi Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Margaretha Quina menyambut baik konsensus dalam COP 14 Konvensi Basel yang memindahkan plastik ke Annex II. Langkah pertama, kata Quina, pemerintah agar melanjutkan peninjauan ulang Peraturan Menteri Perdagangan 31 tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Beracun dan Berbahaya, antara lain dengan mempertegas klasifikasi HS Code (kode perdagangan komoditas).
Selain itu, pemerintah agar menyesuaikan definisi “clean plastic” dan membuat definisi jelas terkait serta “sampah plastik berbahaya dan lainnya” (other and hazardous plastic waste) sesuai hasil COP 14 Konvensi Basel. Untuk kategori “sampah plastik berbahaya dan lainnya” mekanismenya menyesuaikan dengan mekanisme Annex II Konvensi Basel.
Dari Proposal Norwegia, clean plastic itu plastik yang bisa didaur ulang, terpilah sebelum diekspor, disiapkan sesuai spesifikasi tertentu, dan bisa langsung didaur ulang dengan proses pre-treatment mekanis tambahan seminimal mungkin dan bahkan sebisa mungkin tanpa pre-treatment.
Quina mengatakan masuknya sampah plastik tercampur dalam Annex II harus dilengkapi desain sistem pengelolaan lingkungan di Indonesia. Ini untuk menentukan setuju atau tidak disetujuinya impor tersebut.
“Kalau negara penerima tidak punya environmentally sound management (manajemen berbasis lingkungan) yang sanggup mengelola other plastic waste and hazardous plastic waste, seharusnya tidak menerima impor sampah plastik tersebut,” kata dia.
Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai focal point Pemerintah Indonesia untuk Konvensi Basel. Namun terkait impor sampah plastik sebagai material daur ulang ini, pada Juli 2018-Februari 2019, KLHK memberlakukan moratorium izin baru impor sampah plastik dengan tidak memberikan rekomendasi impor.
KLHK bersama Kementerian Perdagangan sedang merevisi Peraturan Menteri Perdagangan No 31 tahun 2016 agar lebih ketat dan spesifik dalam mengklasifikasikan komoditas impor tersebut. Diantaranya dengan menghapus kata-kata "dan lain-lain" dalam HS Code yang kerap menjadi celah masuknya pengotor/kontaminan material impor tersebut.