Badan Restorasi Gambut memilih pendekatan revitalisasi ekonomi dalam upaya merestorasi lahan gambut di Papua. Pendekatan itu digunakan karena kondisi lahan gambut di sana relatif lebih baik dibandingkan di enam provinsi prioritas lain.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
MERAUKE, KOMPAS — Badan Restorasi Gambut memilih pendekatan revitalisasi ekonomi dalam upaya merestorasi lahan gambut di Papua. Pendekatan itu digunakan karena kondisi lahan gambut di sana relatif lebih baik dibandingkan di enam provinsi prioritas lain.
”Keadaan lahan gambut di Papua masih bagus dibandingkan dengan di Sumatera dan Kalimantan. Di dua provinsi ini sudah banyak lahan gambut yang rusak,” ujar Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead di sela-sela kunjungannya ke Kabupaten Merauke, Papua, Selasa (14/5/2019).
Semenjak dibentuk pada 2016, BRG ditugaskan untuk merestorasi 2,5 juta hektar lahan gambut, yang terdiri dari 1,1 juta hektar lahan nonkonsesi dan 1,4 juta hektar lahan konsesi.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang BRG, ada tujuh provinsi yang menjadi prioritas restorasi gambut. Ketujuh provinsi itu antara lain Jambi, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Secara garis besar, selama ini BRG memiliki tiga program kerja utama dalam upaya restorasi gambut, yaitu pembasahan gambut (rewetting), pemulihan tutupan lahan pada ekosistem gambut melalui penanaman jenis tanaman asli (revegetasi), dan revitalisasi sumber mata pencarian masyarakat.
Deputi Bidang Konstruksi, Operasi, dan Pemeliharaan BRG Alue Dohong mengatakan, khusus di Papua, pendekatan yang digunakan adalah revitalisasi ekonomi masyarakat.
Berbeda dengan lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera, yang mengalami degradasi parah akibat kebakaran lahan, pendekatan rewetting dan revegetasi tidak terlalu digunakan di Papua lantaran kondisi lahannya masih baik. Jumlah lahan gambut di Papua yang perlu direstorasi hingga 2020 seluas 39.239 hektar.
Bupati Mappi Kristosimus Yohanes Agawemu menyampaikan, masih banyak warga di daerahnya yang terbiasa membakar lahan dan berburu di kawasan konservasi. Kondisi itu menjadi tantangan terbesar dalam menjaga kualitas lahan gambut di Papua.
Oleh sebab itu, dalam rangka menjaga kualitas lahan gambut, BRG bersama pemerintah daerah menggunakan pendekatan revitalisasi ekonomi. Caranya dengan menciptakan sumber-sumber mata pencarian baru.
Dengan begitu, masyarakat yang awalnya bermata pencarian sebagai pemburu atau mengambil kayu di hutan konservasi bisa dialihkan untuk menekuni mata pencarian baru mereka. Di Kabupaten Mappi, misalnya, Kristosimus mendorong masyarakat untuk mulai menanam pohon sagu.
”Karena sagu merupakan makanan pokok di sini. Dengan langkah ini, sagu menjadi tidak dilupakan sekaligus mengoptimalkan pendapatan masyarakat,” kata Kristosimus.
Di Kabupaten Merauke, BRG mendorong masyarakat di sana untuk beternak babi. Mayoritas masyarakat Merauke mengonsumsi daging babi sehingga beternak babi dirasa cocok untuk meningkatkan taraf hidup warga.
Salah seorang peternak babi di Merauke, Agustina (34), mengatakan, semenjak beternak babi enam bulan lalu, sejumlah warga mulai meninggalkan kebiasaan berburu dan membakar lahan di wilayah konservasi Taman Nasional Wasur, Merauke.