Mulai Senin (13/5/2019), PT Mass Rapid Transit Jakarta menerapkan tarif normal kepada para penumpang. Jumlah penumpang ramai normal. Namun, ada sejumlah pekerjaan rumah yang masih perlu diperhatikan MRT.
Oleh
Helana F Nababan/Nikolaus Harbowo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mulai Senin (13/5/2019), PT Mass Rapid Transit Jakarta menerapkan tarif normal kepada para penumpang. Jumlah penumpang ramai normal. Namun, ada sejumlah pekerjaan rumah yang masih perlu diperhatikan MRT.
Salah satu petugas loket di Stasiun Bundaran Hotel Indonesia (HI) di Jakarta Pusat, Rini (31), mengatakan, kepadatan penumpang kemarin cukup normal dibandingkan hari kerja biasanya. Penumpang tetap ramai pagi hari sekitar pukul 07.00 dan sore hari sekitar pukul 16.00.
Seorang penumpang asal Tangerang, Rusli Alwan (41), di Stasiun MRT Bundaran HI, menyatakan tak keberatan dengan tarif normal MRT. ”Sejauh bisa menghemat waktu dan pelayanan lebih baik ke depan, menurut saya, sah-sah saja. Hitungannya cukup murah, tetapi mungkin karena saya pemakaiannya tak setiap hari,” ujar Rusli yang hendak pergi bersama istri dan anaknya ke Lebak Bulus.
Sejauh bisa menghemat waktu dan pelayanan lebih baik ke depan, menurut saya, sah-sah saja.
Saat itu, Rusli harus membayar Rp 29.000 untuk setiap tiketnya. Jumlah itu mencakup tarif dari Stasiun Bundaran HI ke Stasiun Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Rp 14.000, ditambah jaminan kartu Rp 15.000. Uang jaminan bisa diambil kembali oleh penumpang saat berada di stasiun tujuan.
Uang yang dibayarkan Rusli merupakan tarif normal jarak terjauh, dari Stasiun Bundaran HI ke Lebak Bulus. Ini sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 34 Tahun 2019 tentang Tarif Angkutan Perkeretaapian Mass Rapid Transit dan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit.
”Kalau naik (angkutan) yang murah, tetapi kurang akurat (waktu) dan tidak nyaman, ya buat apa? Belum macetnya,” kata Riesma (40), warga Ciputat, Tangerang Selatan.
Kalau naik (angkutan) yang murah, tetapi kurang akurat (waktu) dan tidak nyaman, ya buat apa? Belum macetnya.
Pagi kemarin, ia memburu waktu menuju Senen, Jakarta Pusat. Ia ada janji dengan mitranya di sana pukul 08.15. ”Tadi naik motor dari rumah. Saya berangkat pukul 06.00 kurang. Dari HI saya lanjut naik bus Transjakarta,” katanya.
Vita (40), warga Lebak Bulus, tepatnya di kawasan Sandratex, mengatakan, meski sudah normal, tarif MRT ia rasa tetap jauh lebih murah dibandingkan naik ojek daring atau angkutan lain.
”Kantor saya di Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Kalau naik ojek online bisa berkali lipat dari tarif MRT. Kalau MRT Rp 14.000 dapat cepat dan nyaman. Saya tinggal jalan kaki ke kantor dari Stasiun Bundaran HI,” kata Vita.
Aditya Dwi Laksana, Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), mencatat, ada sejumlah pekerjaan rumah yang menjadi catatan dan mesti dibenahi. Pertama, soal komunikasi dan sosialisasi.
Penambahan tanda-tanda petunjuk yang jelas di stasiun masih perlu dilakukan. Lalu, petugas yang ramah dan komunikatif juga perlu karena menjadi ujung tombak pelayanan MRT.
Hal kedua, Aditya menyoroti tiket dan pemindai di gerbang pembayaran.
Vita, misalnya, menggunakan uang elektronik perbankan untuk naik MRT. ”Tapi kalau dipakai tap in suka error. Tadi saya pindah gate untuk tap in. Kalau bisa kartu-kartu bank bisa lebih smooth lagi,” ujar Vita.
Hal lain yang menjadi sorotan Aditya adalah integrasi antarmoda, khususnya untuk menuju dan dari stasiun MRT.
Riesma yang terbiasa naik sepeda motor dari rumah, lalu parkir di park and ride Lebak Bulus, mengeluhkan area trotoar dari tempat parkir ke pintu stasiun.
”Baunya pesing sekali. Di situ ada banyak pedagang dan petugas bus Damri, juga sopir-sopir yang berkumpul. Karena tidak ada WC, saya rasa mereka asal buang air kecil di tembok MRT,” kata Riesma.
M Kamaluddin, Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta, menyatakan, terkait layanan dengan tarif normal ini, perusahaan belum bisa merilis jumlah penumpang yang menggunakan layanan MRT. ”Selasa dini hari baru ada datanya,” kata Kamaluddin.