Enny Sri Hartati , Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance
·4 menit baca
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2019 masih 5,07 persen secara tahunan. Kendati lebih rendah daripada triwulan IV-2018 yang 5,18 persen, hal itu sedikit lebih baik daripada triwulan I-2018 yang 5,01 persen. Masalahnya, masyarakat berharap tren pertumbuhan ekonomi berlanjut di atas 5,1 persen.
Sebab, selama triwulan I-2019 ada hajatan besar pemilihan umum yang berlangsung serentak. Ada dana pemerintah untuk kegiatan pemilu. Belum lagi gelontoran dana kampanye partai politik maupun calon legislatif. Mestinya, secara kalkulasi sederhana, aktivitas politik itu dapat berkontribusi meningkatkan kegiatan ekonomi 0,1-0,2 persen.
Pemerintah mengklaim pelambatan pertumbuhan itu akibat faktor global dan dampak perang dagang China-Amerika Serikat yang masih berlanjut. Tidak dapat dimungkiri, faktor global berdampak terhadap harga komoditas.
Padahal, ada sisi positif dari dampak perang dagang, yakni potensi perpindahan aliran investasi dari China ke negara-negara emerging market, khususnya Asia. Ditambah lagi, dengan kondisi ekonomi AS yang relatif membaik, setidaknya tidak ada lagi ancaman eksternal kerentanan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Portofolio kembali masuk dengan deras.
Di samping itu, secara struktural, hampir 70 persen motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia dari potensi dan kekuatan domestik. Porsi sektor eksternal, baik melalui sektor perdagangan internasional maupun investasi asing, kurang dari 30 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi konsumsi rumah tangga (56 persen) dan investasi (32 persen).
Artinya, basis utama kekuatan ekonomi Indonesia bukan bergantung pada kekuatan pasar, melainkan dari optimalisasi potensi sumber daya.
Dengan kata lain, untuk menghindari jebakan dan meminimalkan pengaruh global, semestinya bukan hal yang terlalui kompleks. Ilustrasi sederhananya, ekspansi ekspor Indonesia mampu menembus pasar non-tradisional jika tidak lagi didominasi ekspor komoditas. Tujuan ekspor tidak hanya bergantung pada permintaan negara-negara industri seperti China, AS, Jepang, dan India.
Akibatnya, determinan kinerja ekspor ditentukan faktor eksternal, baik dari sisi harga maupun kuantitas. Tentu keterbatasan negara tujuan ekspor juga berdampak pada retriksi atau hambatan perdagangan terhadap ekspor utama Indonesia.
Prioritas
Kasus sederhana itu dapat menjadi patokan dalam menentukan fokus dan prioritas kebijakan ekonomi. Kuncinya secara konkret bertransformasi struktural dan fokus menggerakkan sektor-sektor produktif, terutama sektor yang mampu memberikan nilai tambah potensi sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Belanja pemerintah mesti diprioritaskan untuk menstimulus fiskal kegiatan produktif. Struktur terbesar pelaku usaha adalah industri dan usaha mikro, keci, dan menengah (UMKM). Menggerakkan dan menyehatkan UMKM sangat penting karena menjadi cermin dan referensi investasi skala besar masuk ke Indonesia.
Namun, segala amunisi kegiatan pemilu hanya berhenti menggerakkan sektor konsumtif, termasuk tambahan bantuan sosial untuk Program Keluarga Harapan Rp 38 triliun. Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,01 persen, tetapi yang meningkat hanya konsumsi makanan-minuman selain restoran yang tumbuh 5,29 persen, serta konsumsi kesehatan dan pendidikan 5,66 persen. Sementara konsumsi lain tumbuh melambat, seperti pakaian (4,87 persen), perumahan dan perlengkapan rumah tangga (4,64 persen), serta transportasi dan komunikasi (4,91 persen).
Kegiatan investasi triwulan I-2019 hanya tumbuh 5,03 persen, turun drastis dari posisi triwulan I-2018 yang tumbuh 7,94 persen. Penurunan performa investasi bukan semata-mata akibat sikap investor yang melihat dan menunggu karena faktor pemilu. Jika mengacu pada indeks tendensi bisnis (ITB) triwulan I-2019, terlihat faktornya, yakni pendapatan usaha dan kapasitas usaha turun signifikan.
Sektor pertanian turun drastis, hanya tumbuh 1,81 persen. Industri pengolahan yang digadang-gadang menjadi penggerak utama hanya mampu tumbuh 3,86 persen, tertolong industri makanan dan minuman (6,77 persen) serta industri tekstil dan pakaian jadi (18,96 persen).
Selama sektor riil masih terpinggirkan, Indonesia akan rentan terjebak pertumbuhan yang stangan 5 persen-an. Hanya sektor riil yang mampu menciptakan nilai tambah dengan efek pemerataan ke seluruh pemilik faktor produksi. Tanpa peningkatan produktivitas nasional, Indonesia justru menjadi obyek atau penetrasi impor atas perdagangan bebas. Meskipun pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa tinggi, itu tidak akan mampu memenuhi kebutuhan lapangan kerja untuk negara berpopulasi lebih dari 265 juta jiwa.
Untuk mampu lepas dari kutukan pertumbuhan 5 persen-an, sektor industri harus mampu menjadi akselerator. Dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai, daya beli masyarakat akan pulih. Secara bertahap dan berkelanjutan, kualitas dan kuantitas pertumbuhan akan membaik.