Tidak Cukup Alat Bukti, 13 Laporan Politik Uang Dihentikan
Sentra Penegakan Hukum Terpadu Badan Pengawas Pemilu Kabupaten Banyumas menghentikan proses hukum dari 13 laporan dugaan praktik politik uang karena alat bukti dan saksi tidak mencukupi. Praktik politik uang yang cenderung dilakukan secara sembunyi-sembunyi jadi kendala untuk mengungkap kasus.
Oleh
MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Sentra Penegakan Hukum Terpadu Badan Pengawas Pemilu Kabupaten Banyumas menghentikan proses hukum dari 13 laporan dugaan praktik politik uang karena alat bukti dan saksi tidak mencukupi. Praktik politik uang yang cenderung dilakukan secara sembunyi-sembunyi jadi kendala untuk mengungkap kasus.
”Laporan dari masyarakat ini biasanya berdasarkan asumsi sehingga pada saat kita lakukan pembuktian juga belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya,” kata Koordinator Sentra Penegakan Hukum Terpadu Kabupaten Banyumas Saleh Darmawan, Selasa (14/5/2019), di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.
Sebanyak 13 laporan dugaan tindak pidana pemilu itu terjadi di Kecamatan Gumelar (3 perkara), Tambak, Purwokerto Selatan, Cilongok, Purwojati (2 perkara), Patikraja (4 perkara), dan sisanya di Kemranjen. Perkara itu terjadi pada masa tenang pemilu, yaitu 14 sampai dengan 16 April 2019. Adapun bentuknya merupakan pemberian amplop berisi uang dan minyak goreng untuk memilih atau mencoblos calon anggota legislatif tertentu.
Saleh mengatakan, laporan harus memenuhi syarat formal dan material, misalnya ada alamat dan identitas pelapor serta terlapor agar bisa dikunjungi atau diperiksa. Selain itu, laporan tersebut juga harus disampaikan tidak boleh lebih dari tujuh hari kerja sejak peristiwa itu diketahui. ”Pelapor banyak yang tidak mengetahui pengertian saksi dan alat bukti. Ada beberapa pelapor yang saksinya adalah bukan orang yang melihat dan mengalaminya sendiri,” katanya.
Pelapor banyak yang tidak mengetahui pengertian saksi dan alat bukti. Ada beberapa pelapor yang saksinya adalah bukan orang yang melihat dan mengalaminya sendiri.
Saleh melanjutkan, terkait subyek hukum juga sudah ditentukan dalam Pasal 523 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu setiap pelaksana, peserta, dana atau tim kampanye pemilu. Mereka yang dilaporkan memberikan uang atau barang bukanlah pelaksana, peserta, atau tim kampanye. Selain itu, juga tidak ditemukan akad atau kesepakatan antara pemberi dan penerima untuk secara jelas meminta mencoblos atau memilih calon tertentu. ”Ini minyak goreng titipan dari calon ini dan kemudian pamit. Modusnya juga door to door dan pada saat sepi sehingga tidak ada orang yang menyaksikan. Inilah yang menjadi kendala,” kata Saleh.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Purwokerto A Hanung Widyatmaka menambahkan, subyek hukum memang sudah ditentukan oleh pembuat undang-undang. ”Jadi, itu sudah ditentukan subyeknya. Subyeknya bukan setiap orang atau barang siapa. Jadi, memang bunyi undang-undang, pasalnya sudah ditentukan tim kampanye, pelaksana kampanye, dan peserta kampanye. Jadi, di luar itu tidak bisa,” ujar Hanung.
Hanung mengatakan, susah mencari saksi dalam perkara politik uang. ”Yang jelas perkara politik uang itu dilakukan sembunyi-sembunyi, susah dicari saksinya. Kalau ada, saksinya saling menutupi. Yang satu mengaku dan yang satunya tidak,” tuturnya.
Caleg stres
Dari Purbalingga, Pemilik Panti Rehabilitasi Gangguan Jiwa Yayasan An-Nur H Mustajab, KH Supono, menyampaikan, selama pesta demokrasi 2019 ini, ada 17 calon anggota legislatif dan tim sukses yang menjalani rawat inap di pantinya karena stres akibat kalah dalam pemilu.
”Kalau saya mengatakan bukan stres, melainkan kaget karena usia mereka rata-rata muda 25 sampai 35 tahun. Mereka paling lama seminggu di sini, sekarang tinggal delapan orang. Kondisinya banyak yang meronta, omong sendiri, mengingat uang yang sudah dikeluarkan dan bagaimana mengembalikannya,” kata Supono.
Menurut Supono, para calon anggota legislatif dan tim sukses itu ada yang mengeluarkan uang mulai dari Rp 200 juta, Rp 500 juta, hingga Rp 1 miliar agar dapat menang, tetapi ternyata kalah. ”Mereka berasal dari Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, juga Yogyakarta,” ujar Supono.
Di panti itu para pasien ditangani secara medis dengan bantuan dokter spesialis kejiwaan, mengonsumsi makanan sehat, serta terapi secara agama. Menurut Supono, jumlah mereka yang dirawat akibat gagal nyaleg pada 2019 ini lebih sedikit dibandingkan pada 2014. Saat itu ada 30 caleg dan tim sukses yang dirawat akibat gagal dalam pemilu.