Ada pilihan menata permukiman di bekas lokasi kebakaran di Kampung Bandan dengan membangun rusun. Namun, hal itu bergantung pada kesepakatan antara Pemprov DKI Jakarta dan PT KAI serta hasil kajian ahli tata ruang.
Oleh
Helena F Nababan/Stefanus Ato
·4 menit baca
Warga Kampung Bandan yang rumahnya terbakar tidak ingin direlokasi. Mereka mengklaim sebagian lahan itu milik warga dan ada bukti surat kepemilikannya.
JAKARTA, KOMPAS — Pada Selasa (13/5/2019) siang, di kawasan bekas kebakaran, Kampung Bandan, Ancol, Jakarta Utara, puluhan warga bergotong royong membersihkan puing-puing kebakaran yang terjadi pada Sabtu (11/5/2019) siang. Api menghanguskan 450 rumah semipermanen dan menyebabkan 3.500 jiwa mengungsi.
Junaidi (57), salah satu dari ribuan warga yang rumahnya terbakar mengatakan, dia masih memiliki tabungan di bank untuk kembali membangun rumah. Lelaki itu memastikan tanah yang pernah berdiri rumah berukuran 4 meter × 8 meter yang dihanguskan si jago merah sah miliknya.
”Tanah ini ada sertifikat, tapi kemarin hangus terbakar. Saya yakin data kepemilikan tanah ini masih ada di pemerintah,” kata warga RT 012 RW 005, Kelurahan Ancol, Pademangan, Jakarta Utara, itu.
Tanah ini ada sertifikat, tapi kemarin hangus terbakar. Saya yakin data kepemilikan tanah ini masih ada di pemerintah.
Junaidi memastikan kalau mereka diperbolehkan kembali membersihkan puing-puing kebakaran itu untuk kembali membangun permukiman baru. Dengan catatan, pembangunan dilakukan di atas lahan masing-masing berpatokan pada bekas rumah yang terbakar.
Diat (40), warga lain, menambahkan, mereka menolak direlokasi karena sebagian lahan yang terbakar itu masih resmi dimiliki warga. Ada sekitar 70 kepala keluarga yang memiliki bukti surat kepemilikan berupa sertifikat tanah.
”Sebelum tahun 1989, saat pembebasan lahan, tidak semua lahan di sini dibebaskan. Saat itu, termasuk saya menolak menyerahkan lahan karena harga (kala itu) terlalu murah, hanya Rp 250.000 per meter persegi,” kata Diat.
Diat mengatakan, berdasarkan penuturan orangtua, dahulu kala lahan itu dimanfaatkan sebagai lahan garapan. Setelah itu, mereka mengurus sertifikat dan memiliki lahan secara sah. Sebagian lahan kemudian beralih status kepemilikan pada tahun 1989, saat dibebaskan oleh salah satu perusahaan swasta.
”Saat terjadi kerusuhan pada tahun 1998, lahan yang sudah dibebaskan itu kembali dibangun perumahan sampai hari ini,” ucap Diat.
Tidak layak
Camat Pademangan Mumu Mujtahid, saat dihubungi terpisah, mengatakan, Gubernur Anies Baswedan meminta Pemerintah Kota Jakarta Utara memperhatikan nasib para pengungsi dalam masa tanggap darurat bencana selama satu minggu.
Terkait tempat tinggal, mereka menunggu hasil pertemuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT KAI sebagai pemilik terbanyak dari lahan di lokasi kebakaran itu.
Mumu mengatakan, lokasi perumahan warga yang terbakar tidak layak jika dibangun kembali seperti sedia kala. Hal itu karena lahan diapit kawasan rumah toko di bagian depan dan stasiun kereta api di bagian belakang. Pihaknya mengusulkan opsi lain berupa relokasi ke sejumlah rusun terdekat, seperti Rusun Marunda dan Rusun Semper Barat.
Ada juga pilihan menata permukiman di bekas lokasi kebakaran dengan membangun rusun. Namun, hal itu bergantung pada kesepakatan antara Pemprov DKI Jakarta dan PT KAI, juga didasarkan pada hasil kajian ahli tata ruang.
Sebelumnya, pada Minggu (12/5/2019), Anies Baswedan saat meninjau lokasi kebakaran berjanji meringankan beban korban kebakaran. Relokasi ke rumah susun jadi salah satu opsi yang ditawarkan Anies.
Belum ada rencana
Pada 2019, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta menganggarkan pembangunan dan revitalisasi sejumlah rumah susun (rusun). Untuk pembangunan rusun ada di PIK Pulo Gadung, Jakarta Timur, senilai Rp 119,9 miliar; di Ujung Menteng, Jakarta Timur, Rp 79,9 miliar; Cakung Barat, Jakarta Timur, Rp 119,9 miliar.
Pembangunan juga dilakukan di Padat Karya, Jakarta Utara, senilai Rp 59,9 miliar; di Pulo Jahe, Jakarta Timur, Rp 119,9 miliar; dan di Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara, Rp 32 miliar.
Kalau untuk revitalisasi rusun, lanjut Kepala DPRKP Kelik Indriyanto, ada di rusun Karanganyar dengan anggaran Rp 79,9 miliar. Lalu di rusun Cipinang Besar Utara Rp 14,9 miliar; dan di rusun Penjaringan menara A, B, E, dan F senilai Rp 94,9 miliar.
”Untuk Kampung Bandan belum masuk rencana karena belum ada lahan pemprov yang siap bangun,” jelas Kelik.
Kepala Bidang Pembinaan, Penertiban, dan Peran Serta Masyarakat DPRKP DKI Jakarta Meli Budiastuti mengatakan, rusun lima lantai yang kosong antara lain di Rusun Cakung Barat, Jakarta Timur; Rusun Jalan Bekasi Km 2, Jakarta Timur; Rusun Pinus Elok Jakarta Timur; dan Rusunawa Marunda di Jakarta Utara. Selain itu, ada Rusun Nagrak; Jakarta Utara; dan Rusun Rorotan, Jakarta Utara.
Untuk warga relokasi yang bisa menempati rusun kosong, kata Meli, harus diseleksi dan diverifikasi oleh wali kota beserta jajaran di bawahnya. Hal itu karena stok unit terbatas. ”Berapa jumlah yang harus ditampung sesuai surat permohonan dari wali kota setempat, maka DPRKP akan up-date stok terakhir yang ada,” jelas Meli.
Lalu bagaimana dengan korban kebakaran seperti di Kampung Bandan? Kelik menjelaskan, mereka ditampung di tenda-tenda sementara dengan koordinasi di bawah wali kota. Itu karena tidak ada rusunawa yang dibangun DPRKP di Kampung Bandan.
Gembong Warsono, Ketua Fraksi PDI-P DKI Jakarta, menyarankan supaya sejak awal DKI menyusun konsep penanganan kebakaran secara detail. Gembong juga mendorong DKI memperbanyak pembangunan rusunawa di kampung padat. Sebagai bagian untuk penataan dan pencegahan potensi kebakaran.