APP Sinar Mas Didesak Transparan Buka Struktur Kepemilikan dan Manajemen
Koalisi Anti Mafia Hutan yang terdiri sejumlah organisasi masyarakat sipil lingkungan dan kehutanan mendesak perusahaan raksasa Asia Pulp and Paper untuk transparan membuka struktur kepemilikan dan manajemennya. Ini terkait dengan rangkaian sejumlah temuan deforestasi, perusakan gambut, serta kebakaran hutan.
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Anti Mafia Hutan yang terdiri sejumlah organisasi masyarakat sipil lingkungan dan kehutanan mendesak perusahaan raksasa Asia Pulp and Paper untuk transparan membuka struktur kepemilikan dan manajemennya. Ini terkait dengan rangkaian sejumlah temuan deforestasi, perusakan gambut, serta kebakaran hutan yang disinyalir terkait erat dengan kepemilikan ataupun pengelolaannya dengan Grup Sinar Mas tersebut.
Desakan tersebut ada dalam dokumen setebal 11 halaman berjudul Pengakuan APP/Sinar Mas Mengenai Keterhubungannya dengan Perusahaan-perusahaan Bermasalah yang dirilis Koalisi Anti Mafia Hutan, Rabu (15/5/2019), di Jakarta. Dalam laporan ini ditunjukkan sejumlah kasus dan temuan lapangan serta analisis citra satelit yang diduga kuat terkait dengan APP.
”APP harus jujur dan komprehensif mengungkap informasi penerima manfaat perusahaan-perusahaan dalam rantai pasok APP dan secara transparan menjalankan komitmen pelestariannya,” desak Syahrul Fitra dari Yayasan Auriga Nusantara, anggota Koalisi Anti Mafia Hutan.
Anggota Koalisi lain adalah Hutan Kita Institute, Integritas, Pusat Studi Konstitusi, Woods & Wayside Internasional, WWF-Indonesia, YLBHI, Environmental Paper Network, Partnership/Kemitraan, dan Rainforest Action Network.
Syahrul mengatakan, dokumen Koalisi Anti Mafia Hutan terbaru tersebut disusun sebagai umpan balik atas publikasi ringkasan eksekutif APP Assessment on its Links with Industrial Forest Plantations in Indonesia terbitan 15 Maret 2019. Pernyataan perusahaan tersebut menanggapi analisis Koalisi yang terbit tahun lalu berjudul Buka Dulu Topengmu: Analisis Struktur Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pemasok Kayu Asia Pulp & Paper (APP) di Indonesia, 30 Mei 2018.
Dikonfirmasi terkait dokumen terbaru, Koalisi yang mendesak agar APP jujur membuka kepemilikan dan kepengurusan manajemennya, pihak APP sedang menyusun pernyataan resmi.
Tujuh poin
Terdapat tujuh poin yang menjadi catatan Koalisi, antara lain APP urung melibatkan auditor independen dalam melakukan penelusuran dan penilaian dalam laporannya. Meski diproduksi sendiri oleh APP, Koalisi menemukan sejumlah konfirmasi dalam ringkasan eksekutif tersebut atas perusahaan yang terlibat deforestasi, perusakan gambut, dan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan.
Koalisi menemukan sejumlah konfirmasi dalam ringkasan eksekutif tersebut atas perusahaan yang terlibat deforestasi, perusakan gambut, dan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan.
Selain itu, APP juga tidak menyangkal klaim bahwa karyawan/mantan karyawannya adalah pemilik saham, direktur, dan/atau komisaris pada perusahaan pemasok bubur kayu yang oleh APP diklaim ”independen”. Pada catatan Kompas, keterkaitan karyawan/mantan karyawan tersebut pun pernah diakui APP dan telah dikenai sanksi pemecatan (Kompas, 17 Mei 208 dan 18 Agustus 2018).
Poin yang diangkat Koalisi, APP/Sinar Mas mengakui bahwa empat pemasok kayu yang terlibat dalam kebakaran hutan 2015 merupakan ”mitra” dengan pengaruh signifikan, termasuk kemungkinan ada hubungan kepemilikan dan pengelolaan. Perusahaan APP/Sinar Mas mengakui membeli kayu dari PT Fajar Surya Swadaya, pemasok dari Kalimantan Timur yang melakukan deforestasi.
Koalisi Anti Mafia Hutan juga memberi perhatian khusus atas tanggapan APP yang mengakui adanya ”kesalahan administrasi” atas pembelian kayu dari PT Fajar Surya Swadaya, Kalimantan Timur, yang menghabisi hutan tanpa menilai lokasi dengan nilai konservasi tinggi (NKT, HCV) dan high carbon stock (HCS). Nursamsu, dari WWF Indonesia, mengatakan, ini sebagai bentuk kurangnya komitmen APP dalam pelestarian dan transparansi.
”Jelas ini sebagai bentuk buruknya kredibilitas APP yang belum dapat memenuhi persyaratan dari Forest Stewardship Council (FSC) sebelum melanjutkan proses reasosiasi,” kata Nursamsu.
Sebagai catatan, FSC masih menghentikan penilaian sementara untuk menyertifikasi APP. Pihak FSC saat itu pun minta APP menjelaskan struktur perusahaan dan dugaan pelanggaran pengelolaan hutan terkait dengan perusahaan bubur kayu dan kertas raksasa Indonesia ini (Kompas, 18 Agustus 2018).
Sebagai upaya dorongan atas komitmen transparansi dan pelestarian APP, Koalisi menyampaikan sejumlah desakan agar APP memenuhi keharusan dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
APP didesak mendeklarasikan penerima manfaat semua perusahaan pemasok APP, membuka nama pemegang saham yang sah, serta penerima manfaat dari semua entitas perusahaan yang dikendalikan, terafiliasi dengan, dan/atau terhubung dengan APP dan Grup Sinar Mas di semua yurisdiksi secara global.
Terakhir, APP diminta merilis laporan finansial yang sudah diaudit terhadap semua perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang memasok serat kayu ke pabrik pulp APP di Indonesia.
Tak hanya mendesak APP, Koalisi juga meminta Presiden, DPR, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Keuangan, serta sejumlah lembaga terkait untuk menelisik berbagai potensi kecurangan ataupun yang merugikan bagi perekonomian negara atas keberadaan APP/Sinar Mas. ”Intervensi tegas dari Pemerintah Indonesia dan tekanan lebih lanjut dari pelanggan potensial diperlukan untuk memastikan perubahan nyata,” kata Aditya Bayunanda, Direktur Kebijakan dan Advokasi WWF-Indonesia, seperti dilansir dalam situs WWF (www.panda.org).
Intervensi tegas dari Pemerintah Indonesia dan tekanan lebih lanjut dari pelanggan potensial diperlukan untuk memastikan perubahan nyata.
Rincian dorongan kepada pemerintah, yaitu Presiden agar memberlakukan single identity number (SIN) untuk menutup celah potensial bagi semua orang yang ingin menyalahgunakan informasi. DPR agar bekerja sama dengan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2017 tentang Perusahaan Terbatas, yang bertujuan menegaskan tanggung jawab perusahaan induk, perusahaan anak, dan grup perusahaan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar mewajibkan APP dan Sinar Mas untuk membuka struktur perusahaan penerima manfaat dari semua perusahaan pemegang konsesi HTI dan dan izin kehutanan lainnya di bawah kendali grup tersebut. Mewajibkan semua penerima manfaat dari semua perusahaan yang terafiliasi dengan APP dan Sinar Mas untuk mengafirmasi tanggung jawab utama mereka dalam memastikan bahwa aset kehutanan dan lahan gambut mereka dikelola sesuai dengan peruntukan yang tercantum dalam izin usaha.
KLHK agar mewajibkan APP dan Grup Sinar Mas segera merilis rencana jangka panjang pasokan kayu yang kredibel dan dapat diverifikasi bagi setiap pabrik pulp-nya di Indonesia. Terakhir, KLHK agar tidak mengalokasikan izin HTI baru sebagai lahan pengganti (land swap) bagi perusahaan yang berafiliasi atau terhubung dengan Grup Sinar Mas sampai dilakukan inspeksi terhadap kemungkinan praktik penghindaran pajak dan monopsoni oleh Grup Sinar Mas secara keseluruhan. Pihak Direktorat Usaha Hutan Produksi dan juga Biro Humas KLHK hingga kini belum memberikan respons atas desakan ini.
Audit kinerja
Kepada Kementerian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak, Koalisi mendorong agar melakukan audit kinerja pembayaran pajak perusahaan dan perorangan dari perusahaan, manajemen, pemilik saham yang terafiliasi dengan Sinar Mas atau APP, serta meninjau perjanjian pasokan kayu dan kontrak lainnya antara APP dan Grup Sinar Mas serta perusahaan pemasok kayu yang diaku APP untuk menilai apakah pembelian pihak terkait dilakukan secara wajar.
Koalisi meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia agar mengharuskan perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Sinar Mas untuk mendeklarasikan penerima manfaatnya, seperti diatur dalam Peraturan Presiden No 13/2018, mengevaluasi keberadaan pemilik saham yang diduga sebagai nominee owners di perusahaan yang berafiliasi dengan Grup Sinar Mas, memperbaiki sistem pembentukan entitas legal agar dapat mengidentifikasi gejala struktur kepemilikan nominee, ataupun perusahaan yang termasuk di dalam grup kepemilikan tunggal, yang memiliki struktur kepemilikan tumpang tindih, dan/atau para karyawannya memiliki banyak jabatan.
Koalisi meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia agar mengharuskan perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Sinar Mas untuk mendeklarasikan penerima manfaatnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga diminta untuk mengaudit kepatuhan dan validitas informasi yang dirilis secara publik oleh perusahaan yang berafiliasi dengan Grup Sinar Mas. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) agar menginspeksi struktur bisnis Grup Sinar Mas untuk menilai indikasi struktur kepemilikan yang tumpang tindih, integrasi vertikal, serta potensi transfer harga dari pasokan serat kayu kepada industri yang dilarang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, serta menindak secara tegas perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran.
Terakhir, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) agar menganalisis potensi risiko pencucian uang oleh perusahaan yang terhubung ke Grup Sinar Mas, terutama melalui/oleh/dengan perusahaan offshore.