Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China semakin menekan kinerja perdagangan Indonesia. Ekspor dalam jangka pendek sulit diandalkan sebagai motor penggerak perekonomian.
Oleh
Karina Isna Irawan
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China semakin menekan kinerja perdagangan Indonesia. Ekspor dalam jangka pendek sulit diandalkan sebagai motor penggerak perekonomian.
”Sekarang ini ekonomi dalam tekanan global yang sangat serius melalui ketidakpastian. Kita harus terus melihat aspek domestik dan ini harus terus menjadi kewaspadaan bagi kita,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani di Jakarta, Rabu (15/5/2019).
Ia mengatakan, saat ini pemerintah tetap berwaspada tinggi karena ada sinyal perang dagang AS-China tidak akan mereda dalam jangka pendek. Pola konfrontasi satu lawan satu (head to head) menyebabkan kedua negara penopang ekonomi dunia itu sulit mencapai kata sepakat.
Semua negara di dunia, lanjut Sri Mulyani, masih mengamati pengaruh perang dagang AS-China terhadap pertumbuhan ekonomi, volume perdagangan, dan inflasi global. Dampak paling negatif ialah pertumbuhan volume perdagangan global yang sejak tahun lalu sudah melambat menjadi 4 persen.
”Perang dagang AS-China jelas berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan volume perdagangan global, yang berarti kita tidak mungkin mengandalkan ekspor sebagai penopang pertumbuhan ekonomi,” kata Sri Mulyani.
Untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, pemerintah berupaya menjaga motor penggerak domestik, yaitu dari konsumsi rumah tangga dan penanaman modal dalam negeri. Konsumsi dan investasi terus ditingkatkan melalui berbagai insentif dan alokasi fiskal.
Tekanan global, menurut Sri Mulyani, menimbulkan risiko yang lebih tinggi terhadap perekonomian RI karena transaksi berjalan dan neraca dagang yang defisit. Industri manufaktur mengalami tekanan cukup dalam sehingga upaya menjaga pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5 persen semakin menantang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan Indonesia pada Januari-April 2019 mencapai 2,564 miliar dollar AS. Neraca minyak dan gas (migas) menyumbang defisit cukup dalam sebesar 2,769 miliar dollar AS, sementara neraca nonmigas surplus 204 juta dollar AS.
Defisit neraca perdagangan bulan April menjadi yang terdalam setidaknya sejak tahun 2008.
Kepala BPS Suhariyanto, dalam konferensi pers, mengatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi global turut memengaruhi kinerja perdagangan Indonesia. Harga komoditas cenderung fluktuatif, ditambah eskalasi perang dagang AS-China serta konflik geopolitik.
Kinerja ekspor per April 2019 sebesar 12,6 miliar dollar AS atau merosot 10,8 persen dibandingkan dengan Maret 2019. Adapun impor mencapai 15,1 miliar dollar AS atau naik 12,25 persen dibandingkan dengan Maret 2019.
Sri Mulyani menambahkan, kontraksi terhadap kinerja ekspor menggambarkan ekonomi dunia dalam situasi sulit. Namun, kenaikan impor bisa terjadi karena pengusaha mengalkulasi pasokan menjelang Ramadhan dan Lebaran. Hal itu juga sebagai antisipasi libur panjang.
”Jadi, Januari-Maret cenderung rendah, tetapi sekarang stok ditinggikan sebagai antisipasi. Namun, kami masih harus melihat setiap komposisinya,” kata Sri Mulyani.