JAKARTA, KOMPAS — Organisasi masyarakat sipil perempuan yang tergabung Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan mendesak DPR dan pemerintah untuk segera merealisasikan janji untuk membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Kehadiran undang-undang ini tidak bisa lagi ditunda-tunda karena kejahatan seksual dengan berbagai modus terus terjadi di masyarakat.
“Undang-undang yang mengatur penghapusan kekerasan seksual sudah sangat mendesak. Kalau kita melihat kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di tengah masyarakat sekarang, kita dibuat ternganga dan membuat ketakutan,” ujar Atashendartini Habsjah, Dewan Pembinan Yayasan Kesehatan Perempuan, pada pertemuan Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3) yang membahas daftar invetarisasi masalah (DIM) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Selasa (13/5/2019), di Jakarta.
Atashendartini mengatakan, situasi dan kondisi kekerasan seksual saat ini sudah darurat karena modus kejahatannya semakin banyak tetapi tidak bisa dijangkau oleh peraturan perundang-undangan. Karena itu, pada Masa Persidangan V Tahun Sidang 2018-2019 DPR saat ini pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual benar-benar diprioritaskan, sebagaimana janji DPR pada masa sidang sebelumnya.
Ia mengatakan, saat ini anak-anak perempuan dan laki-laki rentan menjadi korban kekerasan seksual. Selama ini, banyak kasus kekerasan seksual tidak terungkap ke publik, apalagi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap disabilitas.
“Kami berharap tokoh-tokoh kunci di Tanah Air memberikan dukungan penuh atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar bisa disahkan dan memberikan perlindungan terutama pada para korban,” ujar Atashendartini yang hadir bersama Lies Sugondo (mantan anggota Komnas HAM) dan Sjamsiah Achmad (mantan anggota Committee on the Elimination of Discrimination against Women/CEDAW).
Kami berharap tokoh-tokoh kunci di Tanah Air memberikan dukungan penuh atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar bisa disahkan.
Libatkan organisasi masyarakat sipil
Ratna Batara Munti, Koordinator JKP3 berharap tim pemerintah selain melibatkan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), juga melibatkan organisasi masyarakat sipil perempuan dalam seluruh proses pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
“Komnas Perempuan adalah lembaga yang dibentuk negara, karena itu perlu pemerintah melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam pembahasan RUU tersebut, termasuk saat pembahasan DIM,” kata dia.
Pelibatan organisasi masyarakat sipil perempuan sangat penting, agar semua aspirasi bisa diakomodir DPR dan pemerintah. Apalagi waktu yang tersisa bagi DPR periode 2014-2019 tinggal sedikit sebelum berakhir pada Oktober 2019.
Deputi Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Vennetia R Danes menyatakan pemerintah setuju dengan DPR yang mengusulkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, serta akan membahas lebih lanjut. Sebab, RUU tersebut untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, melindungi, dan memenuhi hak korban, serta menindak pelaku.
Vennetia mengatakan, data KPPPA dalam Sistem Informasi (Simfoni) Data Gender dan Anak pada Januari hingga dengan 23 April 2019, menyebutkan bahwa ada 3.523 kasus kekerasan yang dilaporkan, dan sebanyak 2.864 kasus (81,3 persen) adalah kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sedangkan kasus kekerasan seksual sebanyak 1.311 (37,2 persen). Kasus kekerasan seksual tersebut adalah kasus-kasus yang dilaporkan, namun masih banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan atau diselesaikan di luar hukum karena pertimbangan lain.
Pelaku kekerasan seksual tidak hanya seorang, terkadang beramai-ramai. Korban umumnya perempuan dan anak. Selain menderita fisik dan psikis yang berkepanjangan, korban mengalami penderitaan berat, seperti pendarahan yang hebat, kerusakan reproduksi, disiksa secara sadis, diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi sampai korbannya meninggal dunia. Belum lagi traumatis yang dialami korban.
“Oleh karena itu, diperlukan diperlindungan hukum yang mumpuni dan paripurna mulai dari pencegahan sampai dengan penanganan, termasuk di dalamnya pemulihan dan penindakan terhadap pelaku,” ujar Vennetia.
Selain itu perlu layanan seperti rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, reintegrasi sosial, pendampingan dan bantuan hukum, serta perlu diupayakan untuk mendapatkan restitusi atau penggantian kerugian materiil atau immateriil dari pelaku sebagai akibat dari kekerasan seksual.