JAKARTA, KOMPAS – Konsistensi dalam menerapkan regulasi dan kebijakan yang menjaga sumber daya perikanan serta memberi ruang bagi laut untuk memulihkan diri merupakan langkah menjaga keberlanjutan produktivitas. Ekosistem laut memiliki kemampuan memulihkan diri bila manusia bijak dan menghindari kegiatan ekstraktif yang mengeksploitasi sumber dayanya.
Dalam episode Coastal Seas, rangkaian delapan film dokumenter Our Planet, yang ditonton bersama-sama di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (14/5/2019), narasi David Attenborough menyodorkan Raja Ampat sebagai contoh baik itu. Kepulauan di utara kepala burung Papua tersebut awalnya merupakan lokasi penangkapan ikan serta perburuan hiu.
Namun sejak ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut daerah pada 2007, lebih dari 10 tahun kemudian ekosistem setempat mulai pulih. Di salah satu pulau berlaguna di area Misool – diduga Pulau Jaam – yang dulu menjadi “markas” para pemburu hiu saat ini jadi tempat hidup bagi anak-anak hiu liar.
Di kawasan itu pula disebutkan terjadi tiga kali lebih banyak ikan dibandingkan tahun 2007. Dampak ekonominya nelayan mendapatkan ikan lebih banyak dengan upaya yang minim.
“Laut merupakan sumber daya alam yang terbarukan karena bila teregulasi dan terproteksi akan mengembalikan produktivitasnya,” kata Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, saat menjadi narasumber diskusi usai pemutaran film tersebut. Narasumber lain yaitu CEO WWF Indonesia Rizal Malik dan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy, sedangkan Prita Laura sebagai pemandu diskusi.
Laut merupakan sumber daya alam yang terbarukan karena bila teregulasi dan terproteksi akan mengembalikan produktivitasnya.
Susi Pudjastuti mengatakan ketegasan dalam menindak pelanggaran kejahatan perikanan seperti yang dilakukannya sejak masuk dalam Kabinet Kerja, menunjukkan hasil. Salah satunya adalah, biomassa laut meningkat tiga kali di saat biomassa di belahan dunia lain mengalami penurunan. Ia pun menyebut neraca perdagangan perikanan Indonesia kini nomor satu di Asia Tenggara sehingga diperhitungkan dunia.
Mudah didapat
“Dampaknya saat ini ikan mudah didapat, kecuali di Pantura yak arena masih ada cantrang,” kata dia. Alat tangkap cantrang memiliki cara kerja mirip pukat dengan menarik jala panjang bermata kecil sejauh 6 kilometer.
Pesisir Laut Jawa yang hanya sedalam maksimal 60 meter membuat jala tersebut merangsek hingga dasar laut sehingga menggerus apa pun yang disapunya. Sekitar satu kapal cantrang beroperasi pada area seluas 280 ha.
Susi menambahkan, alat tangkap itu menangkap ikan, kepiting, dan udang berukuran kecil atau masih anakan serta jenis-jenis ikan nonkomersial lain. Ikan-ikan tersebut dibuang begitu saja sehingga boros sumber daya serta keberlangsungan keberadaan ikan terganggu.
Meski demikian, ia mengakui sejumlah pekerjaan rumah masih belum bisa ditangani. Hingga kini sedikitnya 50 bom dalam sehari diledakkan di perairan laut Indonesia. Permasalahan lain yaitu sampah plastik yang mengotori laut serta mematikan para penghuninya.
Mendengar pemaparan Susi Pudjiastuti, Ninuk Mardiana mengatakan dalam empat tahun ada harapan kesehatan laut mengalami peningkatan. Ia mengatakan lingkungan, khususnya perairan laut, menjadi perhatian bagi Kompas dengan menggelar liputan khusus Jelajah Terumbu Karang tahun 2017.
“Selain liputan dengan menyelam, ekspedisi ini juga mengangkat tradisi masyarakat yang baik yang mempraktikkan keberlanjutan. Itu kami angkat dengan harapan untuk pembelajaran bagi komunitas masyarakat yang lebih luas,” ungkapnya.
Rizal Malik mengatakan manusia yang membuat berbagai permasalahan lingkungan merupakan solusi bagi permasalahan tersebut. Hal yang bisa dilakukan yaitu mengubah perilaku yang lebih seralas dengan alam.
Selain itu, pemerintah sebagai pemegang otoritas perlu memperbanyak kawasan konservasi perairan laut (marine protected areas/MPA) yang terkelola untuk menjadi ruang bagi keberlanjutan sumber daya ikan. Jejaring dengan MPA lintasnegara pun diperlukan untuk melindungi berbagai jenis biota laut yang bermigrasi atau berlalu-lalang lintasperairan.