JAMBI, KOMPAS— Polres Tebo mengeluh sulitnya mengendalikan pembalakan liar di ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, Jambi. Upaya penegakan hukum kerap dihadang pengerahan massa.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tebo Ajun Komisaris Hendra Manurung mengatakan, operasi penegakan hukum baru dilakukan bulan lalu. Pihaknya mendapati satu truk mengangkut kayu-kayu olahan yang berasal dari kawasan hutan tersebut. Saat itu pengemudi truk melarikan diri. Namun, tak lama kemudian massa berdatangan mengancam petugas.
”Polemik sosialnya begitu kuat. Ini yang perlu diatasi tidak hanya oleh kami, tetapi juga pemerintah daerah dan pusat,” katanya, Selasa (14/5/2019).
Ia pun menyebutkan tak mudah menindak usaha-usaha pengolahan kayu hasil curian itu. Kayu yang dibawa dari usaha pengolahan biasanya kayu-kayu olahan dan dilengkapi dokumen. Padahal, ia mengetahui, dokumen diduga kuat dipasok dari luar daerah.
Pihaknya pernah mengupayakan pendekatan persuasif, tetapi tak menuai respons memadai. Masyarakat mengklaim kawasan hutan negara di wilayah itu sebagai milik mereka. Dengan kondisi tersebut, ia mendorong agar semua aparat penegak hukum dan pemerintah bersama-sama mengatasi persoalan itu.
Hal senada dikemukakan Direktur PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT) selaku pemegang izin restorasi ekosistem di Bukit Tigapuluh Dody Rukman. Petugas perlindungan hutan di wilayah operasinya sering menerima ancaman dari para pembalak.
Sebagai contoh, sewaktu akses yang dibuka pembalak ditutup petugas, tak lama kemudian para pembalak mengancam petugas itu. Bahkan, belakangan para pembalak nekat membuka lagi akses dengan alat berat dan menebangi kayu-kayu di sana.
Sebagaimana diketahui, pembalakan liar marak tak jauh dari lokasi gajah yang mati di wilayah Sumay, Kabupaten Tebo. Jumat (10/5), puluhan truk berjalan beriringan dalam kawasan hutan Blok II Restorasi Ekosistem ABT yang menjadi penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Para pembalak mengangkut lebih dari 50 meter kubik kayu meranti berdiameter 60 sentimeter hingga 120 sentimeter.
Konsesi restorasi ekosistem ABT seluas total 38.665 hektar di Kabupaten Tebo. Meski beralas izin restorasi ekosistem, sebagian wilayah itu telah hancur karena dirambah dan dibalak liar. Pada Blok II konsesi, dari 16.000 hektar, tersisa 5.000 hektar yang masih bagus kondisi tutupan vegetasinya. Selebihnya hancur karena penebangan dan okupasi.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sustyo Iriyono mengatakan telah mengirim personel ke lokasi pembalakan liar di konsesi restorasi ekosistem ABT. Dari pengumpulan keterangan dan informasi, pihaknya menyusun rencana operasi. ”Pasti itu (kami tindak). Segera,” katanya.
Selain di konsesi itu, ada dua lokasi lain di wilayah itu yang juga akan dilakukan operasi penindakan. Penyusunan rencana operasi penindakan itu masih menunggu tim yang diterjunkan di lapangan.
Maraknya pembalakan liar kian mempersempit ruang jelajah gajah serta memicu konflik satwa dan manusia. Terkait temuan gajah yang mati, Hendra menyatakan tengah menyelidiki. Sampel organ gajah telah dikirim ke laboratorium. Pihaknya juga menindak praktik perambahan di kawasan hutan itu. (ITA/ICH)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.