Pemprov DKI Diminta Fokus Perbaiki Ketatausahaan Aset
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian atau WTP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2018. Meskipun demikian, Pemprov DKI dinilai masih memiliki pekerjaan rumah dalam inventarisasi aset tetap. Perbaikan ketatausahaan aset menjadi fokus ke depan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian atau WTP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2018. Meskipun demikian, Pemprov DKI dinilai masih memiliki pekerjaan rumah dalam inventarisasi aset tetap. Perbaikan ketatausahaan aset menjadi fokus ke depan.
Raihan predikat WTP itu disampaikan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bahrullah Akbar dalam acara penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran (TA) 2018, di Jakarta, Rabu (15/5/2019). Dengan demikian, Pemprov DKI telah mempertahankan opini WTP yang diperoleh di tahun sebelumnya, 2017.
Meski demikian, Bahrullah Akbar mengatakan, BPK masih menemukan beberapa permasalahan dalam LKPD DKI TA 2018, baik menyangkut tata sistem pengendalian internal maupun kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Salah satu hal yang paling ditekankan adalah masalah tata kelola aset daerah.
”Pelaksanaan inventarisasi atas aset tetap belum selesai dan masih terdapat kelemahan dalam sistem informasi aset tetap,” ujar Bahrullah.
Temuan lain BPK dalam LKPD DKI TA 2018 adalah masih terdapat aset fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos/fasum) berupa tanah yang telah diserahkan kepada Pemprov DKI, tetapi masih dimanfaatkan oleh pengembang. Selain itu, ada pula bangunan fasos/fasum yang sudah selesai dibangun dan dimanfaatkan oleh pengembang, tetapi belum diserahkan kepada Pemprov DKI.
Berdasarkan data BPK, sejak 2005-2018, ada 9.338 rekomendasi BPK yang telah disampaikan kepada Pemprov DKI. Dari jumlah itu, setidaknya 6.615 rekomendasi atau 70,84 persennya telah ditindaklanjuti.
”Kami harap 2.323 rekomendasi atau sisa 29,16 persennya harus menjadi prioritas untuk segera ditindaklanjuti,” kata Bahrullah.
Pekerjaan rumah
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengakui, pencatatan pengelolaan aset masih menjadi pekerjaan rumah yang paling besar di pemerintahannya. Sebab, mayoritas aset DKI adalah aset lama, mulai 1950-an sampai 1970-an.
”Banyak aset-aset lama kami yang pencatatannya itu tidak selalu rapi,” kata Anies.
Oleh karena itu, Anies mengingatkan kepada jajarannya untuk terus melakukan perbaikan ketatausahaan aset daerah. Usaha itu dilakukan melalui pengembangan sistem informasi aset daerah, inventarisasi aset oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan unit kerja perangkat daerah (UKPD), serta penyelesaian permasalahan aset melalui Majelis Penataan Status Aset.
”Jadi, secara umum, kami sudah menyiapkan sistem untuk menyelesaikan masalah aset ini. Ke depan, aset yang masih tersisa akan kami tuntaskan,” kata Anies.
Belum tercatat
Secara terpisah, Inspektur DKI Jakarta Michael Rolandi Cesnanta Brata mengatakan, dalam penataan aset, ada 725 entitas akuntasi yang tersebar di seluruh SKPD dan UKPD atau senilai Rp 436 triliun yang belum tercatat.
”Itu besar sekali. Kalau tak ada pengelolaan cashless, akan menyulitkan saat menyusun laporan keuangan. Kami akan melakukan review dalam penyusunan laporan keuangan,” tutur Michael.
Oleh karena itu, agar tidak mengulangi masalah penataan aset lagi, lanjut Michael, mulai 2019 ini aset yang dibeli harus selesai dicatat dalam waktu tiga bulan.
”Kami rekonsiliasi saja secara periodik antara aset yang ada. Kami juga arahkan nanti ke pembelian barang untuk lebih cermat nantinya,” kata Michael.