Kepolisian Resor Tebo mengeluh sulitnya mengendalikan pembalakan liar di ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, Jambi. Pengerahan massa kerap muncul setiap kali aparat berupaya menegakkan aturan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Kepolisian Resor Tebo mengeluh sulitnya mengendalikan pembalakan liar di ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, Jambi. Pengerahan massa kerap muncul setiap kali aparat berupaya menegakkan aturan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Tebo Ajun Komisaris Hendra Manurung mengatakan, operasi baru dilakukan bulan lalu. Pihaknya mendapati satu truk mengangkut kayu-kayu olahan yang berasal dari kawasan hutan itu.
Saat itu, pengemudi truk melarikan diri. Namun, tak lama kemudian massa berdatangan mengancam petugas. ”Polemik sosialnya begitu kuat. Ini yang perlu diatasi bukan hanya oleh kami, melainkan juga pemerintah daerah dan pusat,” katanya, Selasa (14/5/2019).
Polemik sosialnya begitu kuat. Ini yang perlu diatasi bukan hanya oleh kami, melainkan juga pemerintah daerah dan pusat.
Ia pun menyebutkan tak mudah menindak usaha-usaha pengolahan kayu hasil curian itu. Kayu yang dibawa dari usaha pengolahan, biasanya kayu-kayu olahan, umumnya telah diperlengkapi dokumen. Padahal, pihaknya mengetahui dokumen diduga kuat dipasok dari luar daerah.
Pihaknya pernah mengupayakan pendekatan persuasif, tetapi tidak mendapatkan respons memadai. Kawasan hutan negara di wilayah itu diklaim masyarakat sebagai milik mereka.
Ia mendorong seluruh aparat penegak hukum dan pemerintah agar bersama-sama menyelesaikan persoalan itu.
Hal senada dikemukakan Direktur PT Alam Bukit Tigapuluh, selaku pemegang izin restorasi ekosistem di Bukit Tigapuluh, Dody Rukman. Ancaman para pembalak terhadap petugas perlindungan hutan di tempatnya telah kerap dialami. Sebagai contoh, sewaktu akses yang dibuka pembalak ditutup oleh petugas, tak lama kemudian para pembalak mengancam para petugas itu. Bahkan, belakangan didapati para pembalak nekat membuka lagi akses dengan alat berat dan menebangi kayu-kayu di sana.
Sebagaimana diketahui, pembalakan liar marak tak jauh dari lokasi gajah yang mati di wilayah Sumay, Kabupaten Tebo. Jumat (10/5/2019), puluhan truk tampak beriringan dalam kawasan hutan Blok II Restorasi Ekosistem ABT, yang menjadi penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Para pembalak mengangkuti lebih dari 50 meter kubik kayu meranti berdiameter 60 sentimeter hingga 120 sentimeter.
Konsesi restorasi ekosistem ABT seluas total 38.665 hektar di Kabupaten Tebo. Meski beralas izin restorasi ekosistem, sebagian wilayah itu telah hancur karena dirambah dan dibalak liar. Pada Blok II konsesi, dari 16.000 hektar tersisa 5.000 hektar saja yang masih bagus kondisi tutupan vegetasinya. Selebihnya telah hancur karena penebangan dan okupasi.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sustyo Iriyono mengatakan telah mengirim personel ke lokasi pembalakan liar di konsesi restorasi ekosistem Alam Bukit Tigapuluh di Kabupaten Tebo, Jambi. Dari pengumpulan keterangan dan informasi, pihaknya menyusun rencana operasi. ”Pasti itu (kami tindak). Segera,” kata Sustyo.
Ia mengatakan, terdapat dua lokasi lain di wilayah itu yang juga akan dioperasi. Pihaknya sejauh ini masih menunggu tim kembali dari lapangan untuk selanjutnya menyusun rencana.
Maraknya pembalakan liar telah kian mempersempit ruang jelajah gajah dan memicu konflik satwa dan manusia. Terkait dengan temuan gajah mati itu, Hendra menyatakan tengah melakukan penyelidikan. Sampel organ gajah telah dikirim ke laboratorium. Namun, pihaknya juga menindak praktik perambahan di kawasan hutan itu.