Penyusunan Aturan Perlindungan Jangan Abaikan Swasta
Ada masalah pekerja migran Indonesia sakit, biaya rumah sakitnya ditanggung sendiri, padahal sudah dilindungi melalui asuransi atau BPJS Ketenagakerjaan.
Oleh
Hamzirwan Hamid
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri belum optimal. Hal ini membuat pekerja tersebut rentan mengalami perlakuan yang tidak layak di negara-negara penempatan.
Sekretaris Jenderal Himpunan Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki) Amin Balbaid di Jakarta, Rabu (15/5/2019), menyatakan, selama ini undang-undang (UU) dan aturan turunannya tentang perlindungan pekerja migran Indonesia belum optimal. Kondisi ini mengakibatkan badan atau lembaga yang berwenang saling lempar tanggung jawab.
”Yang terakhir paling disalahkan adalah pelaku usaha,” ujarnya.
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI), lanjutnya, menjadi lembaga yang selalu disalahkan. Padahal, lanjutnya, perlindungan kurang optimal karena UU dan peraturan pemerintah (PP) yang tidak tepat sasaran.
Dia mencontohkan, ada satu pekerja migran Indonesia bermasalah mendapat perlindungan dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, P3MI, dan asuransi. ”Akan tetapi, secara keseluruhan pekerja migran Indonesia di Arab Saudi justru saat bermasalah mengadu kepada perwakilan partai politik tertentu di sana,” ujarnya.
Artinya, kata Amin Balbaid, pihak swasta lebih dipercaya pekerja migran Indonesia untuk mengadu jika bermasalah dibandingkan dengan pemerintah. ”Ada masalah pekerja migran Indonesia sakit, biaya rumah sakitnya ditanggung sendiri, padahal sudah dilindungi melalui asuransi atau BPJS Ketenagakerjaan. Alasannya, asuransi tidak memiliki perwakilan di luar negeri,” tuturnya.
Dampak moratorium
Dia menyatakan, sampai saat ini P3MI selalu disalahkan, padahal peraturan dari pemerintah yang menjadi salah satu penyebabnya. Bahkan, dia menegaskan ada pernyataan bahwa 80 persen dari 58 P3MI yang lolos seleksi Kemennaker tidak mempunyai kantor.
Sebelumnya, Dirjen Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PTKLN) Kemennaker Eva Trisiana mengatakan, tim seleksi dengan anggota dari lintas instansi sangat akurat dan bisa dipertanggungjawabkan dalam memberi penilaian terhadap P3MI.
Amin Balbaid menegaskan bahwa penilaian terhadap keberadaan kantor P3MI sangat wajar karena sudah selama delapan tahun ada moratorium untuk penempatan pekerja migran Indonesia yang membuat tidak ada kegiatan pengiriman pekerja ke beberapa negara yang terkena moratorium.
”Jadi, agar tidak terjadi saling salah menyalahkan terus-menerus, maka kami usulkan agar PP tentang perlindungan pekerja migran Indonesia diatur bersama-sama antara pemerintah dan asosiasi pelaku usaha penempatan dan tidak dibawa ke ranah politik. Dengan demikian nantinya tidak akan ada yang saling menyalahkan apabila terjadi masalah terhadap TKI,” tuturnya.