Sistem Noken di Papua, Kekayaan Lokal yang Rentan Terkoyak
Noken adalah kearifan lokal khas masyarakat pegunungan tengah Papua yang biasanya dibuat dalam bentuk tas. Lebih dari sekedar alat angkut, noken kerap dijadikan sebagai kotak suara saat memilih pemimpin daerah, negara, hingga anggota legislatif. Namun, di balik kebesaran budayanya, praktik ini rentan terkoyak.
Noken adalah kearifan lokal khas masyarakat pegunungan tengah Papua yang biasanya dibuat dalam bentuk tas. Lebih dari sekadar alat angkut, noken kerap dijadikan sebagai kotak suara saat memilih pemimpin daerah, negara, hingga anggota legislatif. Namun, di balik kebesaran budayanya, praktik ini rentan terkoyak.
Menjadi salah satu kearifan lokal Indonesia, negara mengakui noken sebagai sarana demokrasi. Buktinya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengakui dan mengesahkan sistem noken menganut sistem pemilihan langsung, umum, bebas dan terbuka, melalui putusan Nomor 47 Tahun 2009.
Putusan MK juga berlandaskan pada Pasal 18 B Ayat 2 Undang-Undang 1945 yang menyatakan, ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Dalam Pemilihan Presiden dan Legislatif 2019, KPU RI juga mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 810 Tahun 2019 pada 5 April 2019 tentang Penetapan Daerah yang Menggunakan Sistem Noken.
Putusan MK Nomor 47 Tahun 2009 menyebutkan, sistem noken menganut sistem pemilihan langsung, umum, bebas, dan terbuka.
Sebanyak 12 kabupaten di Papua yang menggunakan sistem noken, yaitu Tolikara, Puncak Jaya, Puncak, Jayawijaya, Nduga, Paniai, Deiyai, Lanny Jaya, Yahukimo, Mamberamo Tengah, Intan Jaya, dan Dogiyai. Sementara lima kabupaten menggunakan sistem pemilu one man one vote dan sistem noken, yakni Yahukimo, Jayawijaya, Mamberamo Tengah, Lanny Jaya, dan Tolikara.
Akan tetapi, keefektivan sistem noken untuk memudahkan pelaksanaan tahapan Pemilihan Presiden dan Legislatif di 2019 di Papua dipertanyakan. Alasannya, sistem ini rentan memicu politik uang, rendahnya integritas penyelenggara pemilu, dan sumber konflik antarwarga. Apalagi, pelaksanaan rekapitulasi perhitungan suara di Papua juga molor dari jadwal yang ditetapkan 12 Mei 2019.
Sejumlah kasus memperlihatkan jejak itu. Pada 25 April 2019, terjadi saling panah dan pembakaran Kantor Distrik Nunggawi di Tolikara karena perebutan hasil suara noken antara oknum calon anggota legislatif. Beruntung tak ada korban jiwa dalam insiden ini. Polisi dan TNI cepat meredam konflik antara kedua pihak.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga mencatat daerah yang menerapkan sistem noken cenderung rawan konflik. Jumlah warga yang meninggal sejak sistem noken diberlakukan tahun 2009 mencapai 71 orang dan ratusan warga mengalami luka-luka. Terakhir, konflik pilkada di Puncak Jaya dan Intan Jaya menewaskan 19 warga pada tahun 2017.
Sistem noken juga rentan disalahgunakan oknum penyelenggara pemilu dalam mengubah data hasil rekapitulasi suara. Contoh kasus dugaan perubahan data hasil rekapitulasi perhitungan suara oleh lima anggota KPU Yahukimo untuk hasil pemilihan DPR.
Temuan Badan Pengawas Pemilu Papua juga memperlihatkan tren serupa. Di sejumlah kabupaten yang melaksanakan sistem noken, seperti Puncak, Puncak Jaya, dan Paniai, juga ditemukan masalah terkait rekapitulasi suara.
Oknum panitia pemilihan distrik diduga jadi pelaku utama yang mengubah hasil rekapitulasi perhitungan suara dengan basis sistem noken. Aksi ini terindikasi menguntungkan oknum caleg tertentu. Bahkan Bawaslu Papua sampai menunda rekapitulasi perhitungan suara tingkat provinsi untuk Kabupaten Yahukimo pada Kamis (9/5/2019) karena masalah tersebut.
Bawaslu Papua lantas merekomendasikan perbaikan data rekapitulasi DB1 di tingkat kabupaten sesuai dengan hasil rekapitulasi dari dokumen DA1 atau dari tingkat distrik/kecamatan. Setelah melalui perbaikan, hasil rekapitulasi dari Kabupaten Yahukimo baru diterima Bawaslu dan saksi seluruh partai politik pada Selasa (14/5/2019).
Dari hasil pantauan pelaksanaan rekapitulasi perhitungan suara untuk tingkat Provinsi Papua di Hotel Grand Abe Jayapura, sejak 29 April 2019 hingga hari ini, Bawaslu Papua telah mengeluarkan rekomendasi menolak hasil rekapitulasi perhitungan suara dari sejumlah kabupaten yang menggunakan sistem noken, yakni Puncak, Yalimo, Paniai, hingga Lanny Jaya.
Langgar hak
Kepala Sekretariat Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua Frits Ramandey mengatakan, telah meneliti tentang hal ini di sejumlah daerah pada tahun 2014 hingga 2017, seperti Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayapura, Nabire, dan Keerom. Hasilnya, penggunaan sistem pemilihan noken diwakilkan kepala suku.
”Seharusnya, warga memasukkan surat ke dalam noken yang ditempelkan wajah calon kepala daerah, anggota legislatif, dan presiden. Fakta yang kami temukan ternyata ada kepala suku yang mewakili mereka untuk mencoblos calon tersebut,” kata Frits. Ia menuturkan, praktik itu sudah melanggar hak asasi manusia. Sebab, warga tak dapat menyalurkan aspirasi sesuai pilihannya.
”Dengan sistem perwakilan ini, seluruh surat suara walaupun ada yang rusak wajib dimasukkan ke dalam noken. Hal ini dapat merugikan kandidat lainnya,” katanya.
Baca juga: Pemilihan Suara Ulang di 12 TPS di Jayawijaya
Ia menambahkan, hanya sejumlah daerah yang tidak menggunakan sistem noken dengan perwakilan kepala suku seperti Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura. Sementara daerah-daerah di kawasan pegunungan tengah Papua masih dominan menggunakan cara tersebut.
Penggunaan sistem noken terindikasi melanggar hak warga yang telah menyalurkan aspirasinya. Dari hasil pantauan rekapitulasi perhitungan suara untuk tingkat Provinsi Papua selama dua pekan terakhir di Jayapura, banyak partai politik yang kehilangan hingga puluhan ribu suara.
Menurut peneliti Perludem, Fadli Ramadanil, seharusnya seluruh warga mendapatkan kesempatan untuk menyalurkan hak politiknya. Hal ini patut ditelusuri lebih lanjut oleh penyelenggara pemilu setempat.
Benahi sistem
Anggota Bawaslu Papua, Ronald Manoach mengatakan, perlu evaluasi menyeluruh terkait pelaksanaan pemilu presiden dan legislatif di Papua setelah pelaksanaan rekapitulasi perhitungan suara pada 22 Mei 2019. Ia menilai, perlu penyediaan data kependudukan yang valid di semua kabupaten yang melaksanakan sistem noken. Sebab, muncul indikasi adanya penggelembungan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap.
Berdasarkan data Dinas Sosial, Kependudukan, dan Pencatatan Sipil Provinsi Papua pada Januari 2019, ada 1.841.329 warga yang telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap Provinsi Papua, tapi belum memiliki KTP elektronik.
”KTP elektronik dapat mengungkapkan jumlah pemilih yang sebenarnya di Papua. Sistem pemilu di Papua lebih demokratis dan transparan,” katanya.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, terdapat sejumlah cara untuk membenahi sistem noken, antara lain, penyelenggara pemilu tertib dalam pengadministrasian jumlah pemilih dalam sistem noken sesuai putusan MK pada tahun 2014. Penting juga memberikan pendidikan politik bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya dan komitmen penyelenggara pemilu menjaga integritas.
”Sistem noken rawan manipulasi data pemilih dan politik transaksional. Selama kedua masalah ini belum teratasi, sistem noken belum menghadirkan pemilu yang demokratis dan transparan di tanah Papua,” tutur Titi.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Papua Theodorus Kossay mengakui, sistem noken belum sempurna meski menjadi wujud kearifan lokal masyarakat Papua, khususnya di daerah pegunungan. Ia menilai 50 persen dari 25 kabupaten yang melaksanakan rekapitulasi perhitungan suara tingkat Provinsi Papua terindikasi masalah perubahan data. Hal itu terjadi di daerah yang melaksanakan sistem noken.
”Kami akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk mengevaluasi penggunaan sistem noken dan pembenahan tata administrasinya,” kata Theodorus.
Bagi Theodorus, pemilu seharusnya menjadi pesta demokrasi bagi masyarakat, bukannya sumber konflik antarwarga. Oleh karena itu, perbaikan sistem noken wajib dilaksanakan berdasarkan kesepakatan penyelenggara pemilu, pemda, aparat TNI dan Polri, serta tokoh agama dan adat.