Batubara tidak bisa—dan seharusnya tidak—menjadi bagian dari pasokan energi di masa depan. Itu kata Sverre Thornes, Chief Executive Officer KLP, perusahaan pengelola dana pensiun di Norwegia. Pernyataan Sverre itu dikutip kantor berita Reuters, Selasa (7/5/2019).
KLP, perusahaan yang mengelola dana pensiun sekitar 900.000 orang, tengah gencar mendivestasikan saham mereka di perusahaan-perusahaan yang penerimaannya berbasis tambang batubara. Pada saat bersamaan, KLP giat berinvestasi pada lini bisnis energi terbarukan. Aksi KLP menyiratkan pesan kuat, transisi energi dari fosil ke energi terbarukan merupakan hal penting.
Usaha melawan perubahan iklim adalah salah satu komitmen KLP, dengan cara mendivestasikan saham mereka dari perusahaan-perusahaan yang berbisnis tambang batubara. Sampai saat ini, batubara dituding sebagai biang kerok pencemaran udara dan penyumbang emisi gas rumah kaca. Kampanye masif melawan industri tambang batubara juga semakin kuat.
Di Indonesia, kendati tak sama persis dengan yang dilakukan KLP, ada aksi serupa. PT Indika Energy Tbk misalnya. Perusahaan yang mengakuisisi mayoritas saham PT Kideco Jaya Agung—perusahaan tambang batubara terbesar ketiga di Indonesia pada akhir 2017—menyatakan, akuisisi serupa tidak akan terulang di masa mendatang.
CEO Indika Energy Azis Armand mengakui stigma negatif tambang batubara kian hari kian kuat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi global yang sulit diterka dan ketidakstabilan permintaan batubara menyebabkan harga batubara tak menentu. Tahun ini harganya terus merosot yang menyebabkan penerimaan perusahaan anjlok.
Apa yang dilakukan Indika? Mereka melebarkan lini bisnis yang tak lagi fokus pada tambang batubara. Perusahaan merencanakan pengurangan penerimaan usaha dari sektor batubara. Di satu sisi, lini bisnis non-batubara terus diperkuat. Mereka seperti membaca sinyal, masa depan batubara tak lagi bisa menjadi sandaran.
Kembali ke soal tudingan batubara adalah biang pencemaran lingkungan. Pembakaran batubara sebagai sumber energi pembangkit listrik tenaga uap menimbulkan gas buang. Namun, bukan hanya batubara, gas buang kendaraan bermotor di kota-kota besar juga tak kalah membahayakan bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
Sebenarnya bukan hanya soal pencemaran udara. Tata kelola tambang batubara di Indonesia masih karut-marut. Ratusan lubang bekas tambang batubara diabaikan akibat pengawasan yang minim. Korban jiwa timbul akibat terperosok ke dalam lubang. Belum lagi kepatuhan penempatan dana jaminan reklamasi dan pascatambang yang rendah.
Pada saat bersamaan, Indonesia masih banyak bergantung pada batubara sebagai sumber energi pembangkit listrik. Sekitar 60 persen bauran energi pembangkit listrik di Indonesia berasal dari pembakaran batubara. Adapun sumber energi terbarukan dalam bauran energi pembangkit listrik masih kecil, sekitar 12 persen.
Apakah bisa Indonesia lepas sepenuhnya dari batubara? Dalam waktu dekat rasanya sangat berat kalau tak ingin disebut mustahil. Kebijakan Energi Nasional (KEN) memang mengamanatkan pengurangan pemakaian batubara dan meningkatkan pemanfaatan sumber energi terbarukan. Namun, batubara masih akan berperan penting sampai 2050, dengan porsi setidaknya 25 persen dalam bauran energi nasional.
Jika mengacu pada dokumen KEN, tata kelola tambang batubara harus terus diperbaiki. Di sisi lain, pemanfaatan energi terbarukan tetap konsisten terus didorong. Stigma terhadap tambang batubara memang negatif, tetapi, suka atau tidak, Indonesia masih perlu dan butuh batubara. (ARIS PRASETYO)