Pemerintah Kota Surabaya terus mematangkan rencana pembangunan pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Surabaya, Jawa Timur.
Oleh
IQBAL BASYARI/AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Kota Surabaya terus mematangkan rencana pembangunan pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun di Surabaya, Jawa Timur. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Rabu (15/5/2019), membentuk tim khusus dan menentukan model pembangunan pengolahan limbah B3 seperti di Kitakyushu, Jepang.
”Surabaya memiliki kerja sama sistercity (kota kembar) dengan Kitakyushu. Kota ini salah satu yang paling berpengalaman dalam mengelola limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun),” kata Risma di Surabaya.
Oleh sebab itu, Pemkot Surabaya berencana mengikuti model pengolahan limbah B3 seperti yang dilakukan Kitakyushu. Risma mengatakan sudah bertemu dengan Wali Kota Kitakyushu dan sepakat untuk memberikan pendampingan dalam pembangunan fasilitas tersebut. ”Alat-alatnya bisa beli dari Kitakyushu karena harganya lebih murah,” ujarnya.
Kerja sama antara Surabaya dan Kitakyushu dalam pengolahan sampah dilakukan sejak 2013 saat membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Benowo. Kala itu, Pemkot Surabaya meminta pendampingan dari Kitakyushu untuk membangun PLTSa yang memiliki kapasitas 2 megawatt tersebut. Oleh sebab itu, pihaknya ingin melanjutkan kerja sama tersebut karena dinilai berhasil dalam mengelola sampah di ”Kota Pahlawan”.
Saat ini, tim khusus yang dibentuk melalui SK wali kota itu diminta untuk mempelajari aturan perundang-undangan terkait limbah B3. Sebab, pembangunan tempat pengolahan limbah itu tidak mudah dan aturannya cukup ketat, termasuk dalam hal pengadaan barang dari luar negeri.
”Saya akan berusaha mempercepat izin dengan meminta langsung kepada Presiden Joko Widodo,” ujar Risma.
Lahan untuk pembangunan tempat pengolahan limbah B3 di Surabaya disiapkan seluas 2,4 hektar di Tambak Osowilangun, Benowo. Jika semua perizinan lancar, diharapkan pembangunan fasilitas ini bisa dimulai pada tahun ini karena anggaran sebesar Rp 60 miliar sudah disiapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2019.
”Sekitar Rp 40 miliar di antaranya untuk pembelian alat dari Jepang yang mampu mengolah limbah B3 sebanyak 10-15 ton per hari,” ucap Risma.
Menurut Presiden Asosiasi Pemerintah Daerah Se-Asia Pasifik (UCLG Aspac) ini, pembangunan pengolahan limbah B3 di Surabaya sudah amat mendesak. Kota dengan penduduk sekitar 3,3 juta jiwa ini memproduksi sekitar 10 ton limbah B3 per hari. Limbah tersebut antara lain berasal dari 59 rumah sakit dan ratusan industri yang tersebar di kota seluas sekitar 350 kilometer persegi ini.
Limbah B3 tersebut biasanya dibuang ke Cileungsi, Bogor, tempat pengolahan limbah B3 di Indonesia. Jarak yang jauh, sekitar 785 kilometer dari Surabaya, ini membuat pengeluaran pelaku industri untuk membuang sampah B3 cukup besar.
Bahkan oknum pelaku industri yang tidak taat aturan membuang limbah B3 di sembarang tempat, yang bisa berdampak buruk pada lingkungan. Seperti halnya temuan kepolisian dalam kasus pembuangan limbah emulsi minyak yang dibuang di Sungai Teluk Lamong, Surabaya, pada Juli 2017 dan dua truk bermuatan limbah medis dari tujuh rumah sakit di Surabaya, Lumajang, Mojokerto, dan Jombang pada akhir Oktober 2018.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rachmanita mengatakan, pengeluaran dari 59 rumah sakit di Surabaya untuk mengirim dan membuang limbah B3 ke Cileungsi mencapai Rp 1 miliar per tahun. Jumlah itu terbilang cukup besar karena pihak rumah sakit menggandeng swasta dalam pengiriman limbah tersebut.
”Jumlah rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang cukup banyak membuat kebutuhan pengolahan limbah B3 di Surabaya mendesak,” kata Febria.