JAKARTA, KOMPAS – Peningkatan jumlah penduduk di kawasan perkotaan menjadi tantangan bagi pemerintah kota. Selain dituntut memberikan pelayanan yang optimal bagi warga, pemerintah harus mampu menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang kreatif, inovatif, dan bebas korupsi.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, di Jakarta fenomena urbanisasi yang terus meningkat berdampak pada munculnya sejumlah isu permasalahan perkotaan. Masalah itu meliputi munculnya permukiman kumuh, kemacetan lalu lintas, dan degradasi lingkungan. Jika masalah itu dibiarkan, maka akan berpengaruh pula kepada masalah sosial dan ekonomi masyarakat.
"Perlu ada langkah-langkah strategis untuk mendorong terlaksananya kota cerdas sehingga dapat mengantisipasi seluruh isu permasalahan kota dan kebutuhan masyarakat di wilayah kota tersebut," ujar Tjahjo, saat menghadiri acara Gerakan Menuju 100 Smart City 2019, Rabu (15/5/2019) di Jakarta.
Data Badan Pusat Statistik pada tahun 2018, lebih dari 55 persen penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan dengan tingkat urbanisasi 2,3 persen per tahun. Proporsi jumlah penduduk perkotaan akan diperkirakan terus meningkat hingga 66,6 persen pada 2035.
Tjahjo menyebutkan, setidaknya ada empat langkah strategis untuk mendorong implementasi kota cerdas. Strategi pertama, mendorong penerapan sistem informasi pembangunan daerah (SIPD), baik dari sisi perencanaan, maupun dari sisi penganggaran. Kedua, harus ada penyusunan peraturan daerah rencana pembangunan daerah.
Strategi ketiga, mendorong perencanaan pembangunan kota agar proses rencana pembangunan dapat dibuat semacam analisis yang komprehensif dan berbasis pada data. Keempat, mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk mempercepat penyelesaian perda rencana detail tata ruang (RDTR).
Namun demikian, dari keempat langkah strategis itu, menurut Tjahjo, hal yang paling utama harus disiapkan adalah percepatan penyelesaian perda RDTR. "Keberadaan RDTR tersebut merupakan dasar penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan dari zona-zona yang harus ditentukan sebagai zona penanganan yang menjadi skala prioritas untuk kegiatan pembangunan sektoral dan pengembangan wilayah yang ada," kata Tjahjo.
Hingga saat ini, berdasarkan data Kemendagri, baru terdapat 51 perda RDTR yang telah disusun dan ditetapkan pemerintah kabupaten/kota. Padahal, secara nasional, seharusnya ada 1.838 perda RDTR.
Kendala
Menurut Tjahjo, pembangunan kota cerdas dan berkelanjutan tergantung dari komitmen kepala daerah masing-masing. Dia menilai, selama ini, masih ada sejumlah kepala daerah yang enggan belajar dari keberhasilan pemerintah daerah lain.
"Ini banyak kendalanya karena ada gengsi kepala daerah atau beberapa daerah yang segan atau tidak mau untuk meniru daerah lain yang sudah berprestasi. Padahal, komitmen itu harus selalu ditumbuhkan. Semua kepala daerah harus mengambil inovasi sekecil apapun demi kepentingan masyarakat dan daerah," tutur Tjahjo.
Secara terpisah, Wakil Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Syarif Fasha sepakat bahwa inovasi menjadi kunci penting dalam penerapan kota cerdas. Namun, ada sejumlah kendala yang dialami pemerintah kota/kabupaten, di antaranya jaringan telekomunikasi yang minim dan keterbatasan kualitas sumber daya manusianya.
"Jadi, kualitas SDM di semua sektor pemerintahan pegang peranan penting, termasuk SDM yang berani membuat inovasi. Jadi, smart city itu, ya smart orangnya, smart pemerintahannya, smart masyarakatnya, yang ujung-ujungnya untuk membangun prestasi," kata Fasha, yang juga menjabat sebagai Wali Kota Jambi.
Fasha menambahkan, perwujudan kota cerdas harus menjadi komitmen bersama, mulai dari masyarakat, kepala daerah, hingga anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Sebab, menurut Fasha, penerapan SIPD akan menjadi percuma apabila pada akhirnya anggota dewan masih memaksakan anggaran pokok pikiran (pokir) dalam pembahasan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Yang perlu diedukasi juga adalah anggota dewannya terkait hal tersebut. Jangan sampai sudah di era keterbukaan saat ini, di mana usulan masyarakat sudah diserap melalui musrembang (musyarawah perencanaan pembangunan) dan e-planning namun masih ada pemaksaan lewat pokir dewan. Tidak ada gunanya usulan masyarakat melalui musrembang," ujar Fasha.