Wakil Presiden Jusuf Kalla, di Paris, Perancis, menyerukan kerja sama lintas sektoral untuk menangani penyebaran konten radikal di internet. Pemerintah tak bisa bekerja sendirian.
PARIS, KOMPAS —Perkembangan teknologi informasi bisa menjadi pisau bermata dua dan dimanfaatkan dalam penyebaran konten radikal serta bermuatan kekerasan. Untuk mengatasi penyebaran terorisme melalui media dalam jaringan, kerja sama semua pihak baik antarpemerintah maupun bersama pihak swasta menjadi penting.
Penyebaran konten radikalisme dan terorisme dalam berbagai media dalam jaringan tak bisa hanya ditangani pemerintah. ”Keseluruhan industri teknologi informasi, termasuk penyedia layanan internet dan perusahaan media sosial, semestinya ikut bertanggung jawab dalam menciptakan internet sebagai ruang yang aman dan sehat untuk semua,” tutur Wakil Presiden Jusuf Kalla saat berpidato pada pertemuan Christchurch Memanggil Aksi di Istana Elysee, Paris, Perancis, Rabu (15/5/2019) sore waktu setempat atau Rabu malam WIB.
Di Indonesia, upaya melawan terorisme selama ini dilakukan lebih banyak oleh pemerintah, antara lain melalui Detasemen Khusus Antiteror 88 Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Namun, perkembangan teknologi informasi diakui mengubah wajah terorisme. Pelaku tidak hanya warga dengan kesulitan ekonomi, tetapi juga orang yang secara ekonomi berada.
Dalam pidatonya, Wapres Kalla menegaskan, kerja sama semua pihak ini bisa dilakukan dengan menyiapkan kode etik, mempromosikan aturan mandiri (self-regulation), dan mengawasi lalu lintas siber dalam masing-masing industri. Hal itu akan membantu pemerintah mengatasi konten-konten terorisme dalam jaringan serta menjaga keseimbangan antara hak asasi manusia termasuk kebebasan berpendapat.
”Karenanya, Indonesia berharap Christchurch Memanggil Aksi ini bisa memfasilitasi semua sumber daya yang bisa membangun kewaspadaan masyarakat, meningkatkan kapasitas masyarakat, dan public-private partnership dalam mengatasi ekstremisme dan kekerasan,” tutur Kalla.
Pertemuan para kepala negara dan kepala pemerintahan ini diinisiasi Presiden Perancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern bersamaan dengan pertemuan para menteri digital dari sejumlah negara maju bertajuk ”Tech for Humanity”.
Hadir dalam pertemuan ini, antara lain, Perdana Menteri Inggris Theresa May, Perdana Menteri Norwegia Elsa Solberg, dan Raja Abdullah II dari Jordania. Selain itu, hadir pula para pemimpin perusahaan digital dan media sosial, seperti CEO Twitter Jack Dorsey, Presiden Microsoft Brad Smith, dan Pendiri Wikipedia Jimmy Wales.
Wapres Kalla juga menyampaikan penghargaan kepada Pemerintah Perancis dan Selandia Baru yang menginisiasi pertemuan untuk memperkuat komitmen bersama melawan terorisme dalam berbagai bentuk tersebut.
Menurut Wapres Kalla, serangan teroris di Christchurch, Selandia Baru, juga mengingatkan bahwa tak satu negara pun kebal dari terorisme dan kekerasan ekstrem. Karena itu, Indonesia menegaskan dukungan kepada Selandia Baru dan negara lain yang mengalami serangan terorisme.
Serangan teror di Christchurch, kata Wapres Kalla, mencerminkan tumbuhnya Islamofobia dan xenofobia sebagai ancaman global. Mengatasi kekerasan dan kebencian seperti itu, diperlukan ketahanan masyarakat dan solidaritas di antara warga dengan berbagai latar belakang. Untuk itu, perlu dikedepankan dialog antaragama dan kepercayaan untuk menguatkan toleransi di masyarakat. Budaya damai perlu ditanamkan sejak usia dini di keluarga, sekolah, masyarakat, dan sebagai bangsa.
Kaum muda pun perlu dilibatkan karena kini terorisme juga menggunakan teknologi dalam menyebarkan ideologi dan metodenya. Untuk Indonesia, hal ini sangat penting karena 63 juta dari 150 juta pengguna internet adalah kaum muda. Kaum muda sangat rentan terpapar radikalisme dan kekerasan ekstrem. Namun, kaum muda juga memiliki kekuatan untuk melawan penyebaran konten radikal dan kekerasan ekstrem.