JAKARTA, KOMPAS — Minat dan gaya hidup penduduk usia produktif menjadi target pelaku usaha kuliner saat ini, yang secara tidak langsung disebabkan oleh pergeseran komposisi demografi dan status ekonomi penduduk Indonesia. Perkembangan bisnis kuliner pun menjadi progresif beberapa tahun ini.
Michael Marvy Jonathan, pemilik usaha Bakso Kemon di bawah bendera Mitra Boga Ventura, misalnya, membuka rumah makan bakso dengan konsep kekinian. Target pasarnya adalah anak muda hingga orang tua.
”Kami pada dasarnya menargetkan segala kalangan karena bakso adalah makanan yang disukai semua orang. Namun, keunikan dan variasi menu yang kekinian, dengan harga kompetitif, membuat brand Bakso Kemon diminati anak muda, orang tua, dan keluarga,” katanya, Kamis (16/5/2019), di Jakarta.
Brand bakso tersebut menjual banyak varian menu dalam satu lokasi yang jarang ditemukan di rumah makan bakso tradisional pada umumnya. Contohnya, bakso tulang sumsum yang menawarkan sensasi makan bakso sambil menyedot sumsum dari tulang sapi, menu bakso yang disajikan di dalam batok kelapa, hingga mi ayam hitam yang dijual dengan konsep sehat.
Selain mengandalkan konsep menu makanan, setiap rumah makan juga didesain agar bisa dimanfaatkan untuk berswafoto. Beberapa rumah makan juga bisa dipesan untuk pertemuan atau rapat kerja dan pesta. Saat ini, usaha yang dibangun sejak 2017 itu sudah memiliki 10 cabang di empat kota besar, seperti Jakarta, Bekasi, Bandung, dan Batam.
Usaha kuliner lain, seperti Rumah Sagaleh di Jakarta, membidik pasar serupa dengan Bakso Kemon. Dengan menjual kopi susu dan menu makanan modern bernuansa Minang, kafe tersebut tidak hanya menawarkan rasa, tetapi juga tempat nongkrong yang nyaman.
Dipa, Marketing Communication Rumah Sagaleh, mengatakan, kafe itu tidak hanya mendekatkan diri dengan konsumen dan menawarkan pilihan makanan yang dekat dengan keseharian dan memanjakan lidah, tetapi juga tempat beraktivitas yang nyaman layaknya rumah.
Firsta (26), pekerja swasta di Jakarta yang berkunjung ke Rumah Sagaleh, mengatakan, variasi dan citarasa kuliner yang ditawarkan tetap menjadi alasan utama. Kenyamanan lokasi untuk beraktivitas juga menjadi nilai tambah.
”Suasana kafe yang nyaman seperti rumah bisa membuat saya, ketika mengobrol dengan teman, lebih fokus,” ujarnya.
Survei Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir pada 2017, dalam buku laporan Opus 2019, mencatat, ada lebih dari 5,5 juta usaha yang bergerak di bidang kuliner hingga 2016. Rata-rata 169.580 usaha baru pun dibuka setiap tahun, selama periode 1990-2014.
Adapun konttribusi bisnis kuliner pada produk domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif, yang mencapai Rp 922,59 triliun pada 2016, mencapai 41,4 persen atau sekitar Rp 381,99 persen.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Assyifa Szami Ilman, menyebutkan, masifnya usaha kuliner antara lain dipengaruhi peningkatan jumlah masyarakat berusia muda dan produktif (antara usia 15 tahun dan 64 tahun). Mengacu survei penduduk antarsensus (Supas) 2015, penduduk usia produktif berjumlah 68 persen dari total 266,91 juta jiwa yang diproyeksikan pada 2019.
”Singkat cerita, banyak orang yang mulai bekerja dan memiliki waktu yang relatif sedikit untuk mempersiapkan makanan (memasak) sendiri. Hal ini pada akhirnya berimbas pada kenaikan permintaan terhadap makanan siap saji, seperti yang dihadirkan bisnis kuliner,” kata Ilman.
Tren komposisi penduduk tersebut, menurut dia, juga berdampak pada peningkatan status ekonomi. Mengacu pada data BPS, rata-rata pendapatan per orang per tahun kini di Indonesia ialah 3.927 dollar AS atau sekitar Rp 56 juta pada 2018. Pendapatan per kapita itu naik hingga 176 persen sejak 2000.
”Sebagai perekonomian yang dominan didorong oleh daya konsumsi masyarakatnya, wajar apabila tren peningkatan status ekonomi ini berimbas pada peningkatan permintaan,” katanya.