Menguatnya fanatisme agama menjadi tantangan bagi gerakan perempuan di Indonesia. Pada saat bersamaan, agenda gerakan politik perempuan belum sepenuhnya tercapai.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menguatnya fanatisme agama menjadi tantangan bagi gerakan perempuan di Indonesia. Pada saat bersamaan, agenda gerakan politik perempuan belum sepenuhnya tercapai.
Hal itu tergambar dalam makalah yang ditulis peneliti Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena), Ruth Indiah Rahayu. Makalah itu bagian dari materi diskusi ”Perempuan dan Gerakan Sosial di Indonesia” yang digelar Komnas Perempuan, Kamis (16/5/2019), di Gedung Joang 45, Jakarta Pusat.
Selain Ruth, hadir juga peneliti Ecosoc Institute, Sri Palupi, dan peneliti Organisasi Masyarakat Sipil, Iswanti.
Ruth mendefinisikan gerakan perempuan sebagai momentum konsolidasi pelbagai organisasi perempuan untuk agenda politik yang sejalan. Agenda politik perempuan berhubungan dengan ketidakadilan berbasis jender. Hal ini terjadi di ranah privat ataupun publik.
”Sejak beberapa tahun belakangan, telah muncul kekuatan yang membalikkan isu-isu yang diperjuangkan perempuan,” kata Ruth.
Lulusan magister dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini menjelaskan, kekuatan itu mengatasnamakan agama. Mereka mewacanakan pro terhadap poligami, anti-feminis, dan memfitnah bahwa feminis anti terhadap keluarga.
Di sisi lain, lanjut Ruth, kelompok itu juga mengampanyekan pernikahan muda. Mereka juga beranggapan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sama dengan perzinahan.
”Dalam pola sejarah, munculnya kekuatan anti-feminis kerap kali ditujukan untuk menjinakkan perempuan. Ini merupakan modus politik otoritarian, atau lebih jauh politik fasis,” ujarnya.
Dalam artikel ”Sarinah: Evolusi Gerakan Perempuan yang Terpenggal” yang termuat di indoprogress.com, Ruth menyatakan, selain penguasa, unsur fasisme itu juga bisa berbentuk kekuatan politik masyarakat.
Di sisi lain, sejumlah agenda politik perempuan masih terbengkalai. Sebut saja masih terpisahnya gerakan perempuan dari gerakan sosial pada umumnya.
Ruth mengakui, perempuan mempunyai agenda politik yang khas, yakni kekerasan seksual terhadap perempuan. Menurut dia, isu ini hanya dipahami secara menyeluruh oleh perempuan. ”Sebab, hanya dia (perempuan) yang merasakan langsung,” katanya.
Dalam perkembangan terkini, perempuan seolah bergerak sendiri dalam mengadvokasi kasus ini.
Sri Palupi menambahkan, RUU PKS harus terus dikawal. Tanpa RUU ini, korban kekerasan seksual sulit mendapat keadilan hukum. Instrumen hukum yang ada saat ini belum ramah terhadap korban.
”Sering korban merasa diperkosa dua kali saat pemeriksaan. Sering sekali aparat hukum mengatakan, ’Kamu menikmati, kan? Posisimu bagaimana waktu itu?’” kata Sri, menjelaskan belum adanya mekanisme pemeriksaan yang melindungi korban.
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, menambahkan, diskusi ini merupakan refleksi 21 gerakan perempuan pasca-Reformasi. Narasi gerakan perempuan harus terintegrasi dengan narasi sosial ataupun kebangsaan.