JAKARTA, KOMPAS - Pemindahan Ibu Kota negara dari Jakarta ke Kalimantan diharapkan turut mendorong pertumbuhan ekonomi setempat. Karena itu, pembangunannya perlu melibatkan masyarakat lokal.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan Ibu Kota baru akan didorong menjadi pusat pertumbuhan regional. "Paling jauh mungkin sebagai pusat pertumbuhan untuk pulau. Bukan pusat pertumbuhan nasional. Pusat pertumbuhan nasional tetap di Jakarta," kata Bambang di acara Dialog Nasional Pemindahan Ibu Kota Negara di Gedung Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, Kamis (16/5/2019).
Untuk itu, ia berharap agar pengembangan Ibu Kota baru itu turut melibatkan masyarkat lokal. "Kita tidak hanya melibatkan pengusaha dari luar daerah tersebut. Kita akan membangun ibu kota baru seinklusif mungkin dan tidak hanya untuk orang pemerintah, demi mencegah masalah ketimpangan sosial," katanya.
Pengamat tata kota Yayat Supriyatna mencontohkan, pembangunan Ibu Kota negara di Kalimantan dapat mendorong kegiatan para pelaku usaha batu dan pasir di Sulawesi. Sebab, di Kalimantan, materi pembangunan seperti itu cukup langka, sehingga perlu disediakan dari daerah lain.
"Kalimantan tidak punya pasir dan batu. Kalau mau bangun Ibu Kota, Kalimantan harus memperoleh pasir dan batu dari Sulawesi. Ini bisa menjadi potensi interaksi ekonomi baru di kawasan Timur. Dulu interaksi ekonomi fokus antara Sumatera, Jawa, dan Bali. Sekarang, interaksi antara Sulawesi dan Kalimantan dapat diperkuat," kata Yayat.
Acara Dialog Nasional Pemindahan Ibu Kota Negara di Gedung Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Jakarta, Kamis (16/5/2019).Namun, bagi Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Turro S Wongkaren, dampak ekonomi itu merupakan proses yang perlu waktu. Ia memperkirakan, diperlukan waktu lama hingga 45 tahun untuk mengetahui apabila Ibu Kota baru itu betul-betul berhasil mendorong perekonomian regional.
Selain itu, Kalimantan dikenal sebagai paru-paru dunia. Sehingga untuk menjaga ekosistem itu, tantangannya adalah perekonomian Kalimantan harus berbasis industri yang bersih dan berkelanjutan, seperti industri kreatif. "Pertumbuhan ekonomi di sana tidak bisa berdasarkan pabrik yang menggunakan sumber daya dan mengeluarkan emisi yang tinggi," ucap Turro.
Sependapat dengan hal tersebut, Bambang mengatakan, ibu kota baru di Kalimantan harus sesuai dengan konsep kota ramah lingkungan atau green city. Apabila Ibu Kota baru itu diputuskan berlokasi di Kalimantan, ia memastikan, pemerintah akan merevitalisasi Bukit Soeharto sebagai kawasan hutan lindung. Saat ini, sebagian wilayah Bukit Soeharto digunakan untuk berbagai keperluan yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai hutan lindung.
"Kami sangat peduli dengan masalah lingkungan. Kota yang ramah lingkungan akan menjadi perhatian kami. Kami hanya akan memanfaatkan wilayah yang bukan hutan lindung," tambah Bambang.
Saat ini, ada tiga lokasi yang dipertimbangkan menjadi ibu kota negara baru, yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Bambang mengatakan, lokasi itu akan ditentukan pada 2019. Setelah itu, pembangunan ibu kota negara akan dibagi dalam dua fase. Yang pertama berlangsung pada 2024-2030 dan kedua pada 2030-2045.
Pembangunan pada fase pertama meliput pembangunan zonasi seluas 2.000 hektar untuk fasilitas utama pemerintah pusat, seperti istana, kantor lembaga negara legislatif, eksekutif, yudikatif, taman budaya, dan kebun raya atau botanical garden. Ada pula pembagunan zonasi seluas 40.000 hektar untuk perumahan ASN serta fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Pada fase kedua, pembangunan di zonasi seluas 200.000 hektar akan meliput permukiman non ASN, taman nasional, konservasi orang utan atau kebun binatang, bandara, dan pelabuhan. Ada juga wilayah kurang dari 200.000 hektar yang akan dikembangkan menjadi wilayah metropolitan.
“Dari segi desain, ibu kota negara baru kita akan seperti Washington DC. Benar-benar kota yang basisnya pemerintahan, karena fungsinya hanya untuk pusat pemerintahan dan komersial pun hanya untuk mendukung pusat pemerintahan itu," kata Bambang.
Diperkirakan, ada sekitar 200.000 pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang akan dipindahkan ke lokasi Ibu Kota baru. Diasumsikan pula, setiap pejabat membawa serta tiga hingga empat anggota keluarga, yang totalnya mencapai 800.000 orang. Ada pula sekitar 300.000 pelaku ekonomi yang diperkirakan pindah ke sana untuk mendukung kegiatan ekonomi di sana. Dengan demikian, ada total 1,5 juta orang yang akan dipindahkan ke Ibu Kota baru.
Total pembiayaan pemindahan ibu kota itu diperkirakan mencapai Rp 466 triliun, yang sumbernya dari APBN yang melalui penerimaan negara bukan pajak dan manajemen aset. Apabila melalui skema right-sizing, pembiayaan itu diestimasikan dapat berkurang menjadi Rp 323 triliun. "Kita gunakan anggaran negara yang berasal dari manajemen aset, sehingga tidak menggangu program pemerintah lainnya," tambah Bambang.
Peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaja, memastikan, hampir seluruh wilayah Kalimantan aman dari resiko bencana alam, karena tidak ada gunung berapi, dan cukup jauh dari batas lempeng dan jalur sesar aktif.
"Daerah Kalimantan jauh lebih aman daripada Jakarta. Porsi Jakarta sebagai sumber segala-galanya (pusat pemerintah dan pusat ekonomi) harus dikurangi. Kalau sampai ada bencana besar, bisa dibayangkan kita lumpuh total," kata Danny.