Kualitas Layanan Kesehatan Reproduksi bagi Remaja Masih Kurang
Akses layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas bagi remaja masih kurang. Layanan kesehatan yang diberikan di pelayanan kesehatan peduli remaja dinilai masih berpusat pada pengobatan, belum memaksimalkan aspek pecegahan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Akses layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas bagi remaja masih kurang. Layanan kesehatan yang diberikan di pelayanan kesehatan peduli remaja dinilai masih berpusat pada pengobatan, belum memaksimalkan aspek pecegahan.
Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Herna Lestari, di Jakarta, Kamis (16/5/2019) menyampaikan, akses layanan kesehatan reproduksi yang diberikan di pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR) di puskesmas masih setengah hati. Layanan yang diberikan belum maksimal, seperti waktu pelayanan yang sesuai dengan aktivitas remaja, petugas kesehatan yang tidak ramah, serta tidak ada ruang khusus pemeriksaan bagi remaja yang membutuhkan privasi.
“Jam buka PKPR itu biasanya hanya sampai pukul dua siang. Saat itu, remaja saja masih beraktivitas di sekolah sehingga sangat sedikit yang datang. Belum lagi sosialisasi keberadaan PKPR masih kurang. Banyak remaja yang tidak tahu adanya layanan PKPR di puskesmas,” kata Herna.
Selain itu, ada kebijakan yang dinilai justru membatasi remaja untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi. Pada Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Kependudukan dan Pengembangan Keluarga menyebutkan, akses terhadap pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi hanya dapat diberikan secara legal kepada pasangan yang sudah menikah.
Pegiat hak, kesehatan, dan seksual remaja, Harry Kurniawan menyampaikan, aturan itu bisa merugikan kelompok remaja yang lebih berisiko, seperti yang sudah mencoba perilaku seks atau menggunakan jarum suntik secara bergantian.
“Kita tidak bisa tutup mata kalau memang ada remaja yang berisiko. Meskipun begitu, mereka juga punya hak untuk mendapat perlindungan dari risiko yang lebih buruk,” ujarnya.
Menurutnya, selain pendidikan seksual dan konseling yang komprehensif, layanan seperti penyediaan alat kontrasepsi, pengobatan, tes infeksi menular seksual, dan layanan aborsi aman perlu difasilitasi. Stigma yang terbentuk saat ini membuat layanan kesehatan reproduksi menjadi tidak optimal diberikan pada remaja.
Padahal, kesehatan reproduksi ini bisa berpengaruh pada masa depan remaja, khususnya remaja perempuan. Pada kejadian kehamilan tidak diinginkan misalnya, stigma yang muncul justru bisa membuat kualitas kehamilan buruk. Kematian ibu melahirkan menjadi lebih tinggi karena risiko usia yang muda serta kualitas gizi yang tidak terpantau.
Belum lagi, masalah stunting atau tengkes yang bisa terjadi pada bayi lahir karena semasa kehamilan dan saat ibu remaja tidak mendapatkan gizi serta nutrisi yang cukup. “Terbatasnya akses layanan dan informasi terkait kesehatan reproduksi bagi remaja menimbulkan risiko bagi status kesehatan mereka. Mereka tidak punya pilihan untuk merencakanan kesehatan mereka,” tutur Harry.