Mengalami Kekerasan Saat Meliput Dampak Pembangunan MRT
Pembangunan kereta moda raya terpadu sempat membuat kemacetan parah di Jakarta. Melihat kondisi itu, pada 2 Agustus 2017, saya mendapat penugasan untuk meliput kemacetan di sekitar pembangunan MRT di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Sayang, saat bertugas, saya menerima kekerasan dari seorang pengawas.
Saat itu, saya baru dua hari terjun ke lapangan setelah tiga bulan masa pendidikan dan pelatihan sebagai wartawan Kompas, lalu ditugaskan di Desk Metropolitan.
Kepala Desk Metropolitan Gesit Ariyanto menugasi saya untuk menggambarkan kondisi lalu lintas jalan di sekitar Lebak Bulus yang macet dan berdebu akibat pembangunan stasiun MRT. Saat itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seperti tidak memiliki solusi untuk setidaknya mengurai kemacetan.
Isu yang akan diangkat diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah dan kontraktor mempercepat penyelesaian proyek MRT yang molor dari target awal. Berbekal riset semalaman sebelum terjun ke lapangan, saya memulai liputan di dekat Stasiun MRT Lebak Bulus.
Setelah sampai, saya memarkir sepeda motor dan berjalan kaki menyusuri titik kemacetan. Meski kemacetan saat itu tidak terlalu parah, kondisi jalan sudah cukup padat dan berdebu sejak pukul 09.00.
Untuk memperkuat deskripsi tentang kemacetan, saya mencari tempat lebih tinggi untuk memotret. Saya melihat jembatan penyeberangan orang (JPO), tempat ideal yang saya cari. Saya berhasil mengambil beberapa foto dari atas JPO meski belum terlalu memperlihatkan tingkat kemacetan yang tinggi.
Kurang puas atas hasil foto itu, saya kemudian mendekati pekerja MRT dan kontraktor yang berada di JPO untuk menanyakan kapan biasanya terjadi kemacetan parah. Rupanya saya bertanya kepada pengawas lapangan dari kontraktor Tokyu-Wika Joint Operation.
Belum juga saya sempat bertanya, pengawas itu sudah menunjukkan pandangan sinis dan tidak suka terhadap kehadiran saya. Sebelum bertanya, saya memperkenalkan diri sebagai wartawan harian Kompas yang sedang meliput kemacetan akibat pembangunan MRT.
Namun, tanpa menjawab pertanyaan saya, dia langsung menanyakan izin peliputan. ”Kalau mau meliput di wilayah sini harus ada izin dari MRT. Tidak sembarangan orang bisa masuk dan berada di sini,” ujarnya saat itu.
Penjelasan saya yang panjang lebar rupanya tidak ia pedulikan. Pengawas itu tetap berkeras melarang peliputan di area JPO sekalipun saya telah menunjukkan kartu tanda pengenal pers.
Dengan nada sopan, saya lantas menjelaskan bahwa saya bukan meliput pembangunan MRT, melainkan dampak pembangunan berupa kemacetan. Saya juga menjelaskan saya tidak meliput di area inti proyek MRT dan hanya meliput di JPO yang merupakan ruang publik sehingga tidak memerlukan surat pengantar.
Penjelasan saya yang panjang lebar rupanya tidak ia pedulikan. Pengawas itu tetap berkeras melarang peliputan di area JPO sekalipun saya telah menunjukkan kartu tanda pengenal pers. Dia lantas meninggalkan saya tanpa sepatah kata pun.
Merasa tidak melanggar peraturan, saya tetap melanjutkan meliput sembari memotret. Beberapa kali saya mengambil foto kemacetan dan para pekerja MRT, termasuk di dalamnya sang pengawas tadi.
Menyadari saya masih berada di area proyek MRT, ia bergegas menemui saya. Dengan nada menggertak, dia meminta kamera saya. Rupanya ia salah sangka karena mengira saya memotret dirinya untuk bahan berita.
Merasa permintaannya tidak dituruti, pengawas itu merebut kamera dan kartu tanda pengenal pers saya dengan paksa. Dia juga sempat memukul dan mencekik saya hingga saya terjatuh dari tangga JPO.
Padahal, gambar pekerja MRT yang saya ambil, termasuk foto si pengawas, hanya sebagai pemberi nilai humanistis foto. Oleh karena pengawas itu tidak berkenan difoto, saya pun menuruti permintaan untuk menghapus fotonya.
Namun, saya menolak menghapus semua foto yang sudah saya ambil. Merasa permintaannya tidak dituruti, pengawas itu merebut kamera dan kartu tanda pengenal pers saya dengan paksa. Dia juga sempat memukul dan mencekik saya hingga saya terjatuh dari tangga JPO.
Tidak berhenti sampai di situ, pengawas itu kemudian memanggil rekannya dan menghakimi saya di pos keamanan. Beberapa dari mereka juga ada yang mendorong, mencekik, dan mengancam saya. Mereka lalu menuntut saya meminta maaf dan segera meninggalkan area proyek pembangunan MRT.
Untuk menghindari perlakuan yang lebih buruk, saya pun meminta maaf meski tetap meyakini saya tidak bersalah. Saya meminta kembali kamera saya beserta kartu memorinya.
Namun, pengawas hanya mengembalikan kamera saya tanpa kartu memori. Alasannya agar saya tidak nekat memotret lagi di tempat itu. Dengan berat hati, saya menerima kamera tanpa kartu memori dan bergegas pergi.
Menempuh jalur hukum
Kejadian kekerasan dan penyitaan kartu memori itu langsung saya laporkan kepada Kepala Desk Metropolitan. Mendengar ini, saya diminta kembali ke kantor untuk menceritakan kronologi kejadian dan jika perlu segera menempuh jalur hukum.
Tidak berselang lama, kabar kekerasan ini sampai ke telinga Pemimpin Redaksi (Pemred) Harian Kompas saat itu, Budiman Tanuredjo. Pemred melalui Kepala Desk Metropolitan meminta saya segera menjalani visum di rumah sakit sebagai bahan bukti untuk melaporkan kejadian itu ke Polres Jakarta Selatan.
Saat melapor ke Polres Jaksel, saya didampingi penasihat hukum Kompas, Frans Lakaseru. Pemred Harian Kompas berkeras melaporkan kejadian ini kepada pihak berwajib meski nantinya dapat diselesaikan melalui mediasi kedua belah pihak. Sebab, menurut Pemred, kejadian ini tidak hanya melibatkan saya, tetapi juga telah mencoreng profesi wartawan yang dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh Undang-Undang Pers.
”Benar kamu dipukul dan dirampas kartu memorinya, Pandu? Kalau benar, kamu tidak perlu takut. Pemukulan dan perampasan itu sudah bentuk pelanggaran pidana. Ditambah lagi pelaku juga menghalang-halangi kerja wartawan,” ujar Pemred kepada saya.
Baca juga: Maraton Saat Meliput Maraton Ultra di Tambora
Kompas kemudian juga melaporkan kejadian ini kepada manajemen Tokyu-Wika dan PT MRT Jakarta. Mereka kemudian menelusuri siapa pengawas lapangan yang telah melakukan kekerasan dan perampasan itu.
Malam harinya, tim Tokyu-Wika dan PT MRT Jakarta yang sudah menemukan pelaku kekerasan itu berkunjung ke kantor harian Kompas. Kunjungan diterima langsung oleh Pemred, Kepala Desk Metropolitan, dan jajaran. Saya tidak ikut dalam pertemuan itu karena masih mengurus laporan di Polres Jaksel.
Dari hasil pertemuan, saya mendapat kabar bahwa pengawas yang merampas kartu memori saya memang memiliki watak keras. Bahkan, dia sempat tidak mengakui perbuatannya yang telah mendorong, memukul, dan mencekik saya.
Mediasi malam hari itu pun berakhir dengan pengakuan dan permintaan maaf dari si pengawas serta tim Tokyu-Wika dan PT MRT Jakarta. Tidak lupa mereka mengembalikan kartu memori saya yang dirampas.
Baca juga: 29 Jam Melintasi Pegunungan Papua
Keesokan harinya, dengan ditemani Pemred, Kepala Desk, dan seluruh jajaran, saya dipertemukan dengan tim Tokyu-Wika dan PT MRT Jakarta yang ingin mengucapkan permintaan maaf secara langsung. Si pengawas tidak diikutkan demi menghindari perdebatan. Singkat cerita, saya menerima permintaan maaf mereka.
Pengalaman kekerasan saat liputan seperti yang saya alami ini kerap membayangi dan menjadi risiko profesi wartawan meski pengalaman ini rasanya ”tidak seberapa” dibandingkan dengan berbagai kekerasan yang pernah diterima wartawan lain. Namun, saya berharap, tidak terjadi lagi perlakuan kekerasan terhadap pekerja media di masa depan.