Oslo, Kompas Mercedes-Benz menargetkan konsep karbon netral untuk seluruh jenis mobil berpenumpang selambatnya pada 2039. Pabrikan asal Jerman itu memproyeksikan, penjualan mobil bersumber daya listrik murni atau campuran (plug-in hybrids) pada 2030 setidaknya mencapai 50 persen.
Hal itu dikatakan Ola Källenius, anggota Board of Management Daimler AG, Senin (13/5/2019), di Oslo, Norwegia, pada uji Mercedes-Benz EQC 400 4MATIC di Oslo, yang diikuti ratusan media internasional. Kendaraan ini merupakan mobil elektrik pertama Mercedes-Benz yang diproduksi massal. Ola adalah juga calon CEO baru Daimler AG, perusahaan induk Mercedes-Benz.
Proyeksi tersebut, menurut Ola, juga menjadi tonggak sejarah dari strategi bisnis baru perusahaan yang lebih berkelanjutan. Selain mobil pribadi, Mercedes-Benz secara bertahap menerapkan sistem elektrifikasi pada jenis kendaraan lain, seperti van, bus, dan truk. Jika mobil listrik menggunakan daya elektrik penuh sebagai daya penggerak, mobil bertenaga hibrida atau campuran menggunakan dua sistem mesin, yakni bahan bakar konvensional dan elektrik.
Ola menuturkan, pabrik mobil Mercedes-Benz juga didorong memanfaatkan energi terbarukan. Proyek percontohan dimulai dari pabrik mereka di Sindelfingen, kawasan kecil di dekat Stuttgart, Jerman. Selanjutnya, seluruh pabrik ditargetkan mengikutinya selambatnya pada 2022. Infrastruktur produksi rendah emisi karbon juga akan dirancang bersama semua pemasok komponen.
Produksi rendah emisi karbon, lanjut Ola, juga tak semata dari sumber energi pabrik, tetapi juga daur ulang bahan baku. ”Potensi daur ulang bahan baku di Mercedes-Benz hingga 85 persen. Kami melangkah dari rantai nilai menuju siklus nilai,” kata Ola.
Langkah awal telah dimulai dengan produksi Mercedes-Benz EQC 400 yang mulai dipasarkan di Eropa bulan depan. Mobil bertenaga baterai 80 kilowatt hour (kWh) tersebut membutuhkan daya listrik 19,7-20,8 kWh per 100 kilometer dengan sumbangan 0 gram emisi karbon per kilometer. Meski bertenaga listrik, mobil itu tetap berperforma tinggi seperti mobil-mobil Mercedes-Benz sebelumnya.
Persetujuan Paris yang ditandatangani 195 negara pada 2015 untuk menekan kenaikan suhu Bumi di bawah 2 derajat celsius pada 2020 adalah sebuah keniscayaan. ”Dulu, pendiri Mercedes-Benz merevolusi dunia dengan menciptakan mobilitas tanpa kuda. Kini, tugas kita menciptakan mobilitas bebas emisi karbon,” tutur Ola.
Insentif kebijakan
Susanne Velleuer, Product Management Mercedes-Benz EQC, menjelaskan, pihaknya sedang dan dalam proses perancangan produksi 10 jenis mobil elektrik dari seluruh segmen. Kendati demikian, diakuinya, pasar mobil sport utility vehicle (SUV) yang tumbuh pesat hampir di semua negara, beberapa tahun terakhir, mendorong Mercedes-Benz terlebih dulu menjadikan model tersebut sebagai rancangan mobil elektrik pertama yang diproduksi massal.
”Kami meyakini pasar mobil elektrik terus berkembang di dunia. Tidak hanya di Eropa, tetapi juga di Asia dan Amerika Serikat,” ujar Susanne.
Selain itu, pihaknya mendorong negara-negara di dunia untuk mendukung penurunan emisi karbon dengan menekan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil. Banyak pemerintah, terutama di negara maju, mulai menerapkan subsidi atau insentif pajak bagi konsumen yang membeli mobil elektrik atau hybrid.
Dengan insentif, harga di konsumen menjadi lebih rendah dan kompetitif terhadap mobil konvensional. Sebab, dengan teknologi canggih, harga rata-rata mobil listrik atau hybrid lebih mahal dibandingkan dengan mobil berbahan bakar konvensional.
Salah satu negara yang terdepan dalam penggunaan mobil listrik adalah Norwegia. Pada 2017, sekitar 29 persen dari seluruh mobil baru di Norwegia adalah mobil listrik.
Menurut Karl Ostentad (34), warga Oslo, kebijakan Pemerintah Norwegia menghapuskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan bagi setiap pembelian mobil listrik mendorong warga membeli.
Department Manager Public Relations PT Mercedes-Benz Distribution Indonesia (MBDI) Dennis Kadaruskan menambahkan, Mercedes-Benz EQC 400 4MATIC diharapkan dapat dipasarkan di Indonesia mulai tahun depan.
Sebagai negara dengan potensi pertumbuhan ekonomi tinggi, Indonesia memiliki peluang untuk pemasaran mobil elektrik. Namun, harus ada keberpihakan pemerintah untuk membangun ekosistem mobil ramah lingkungan.