Pemelajaran baca, tulis, dan hitung di pendidikan anak usia dini bukan hal terlarang apabila diterapkan secara benar sesuai prinsip tumbuh kembang anak.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemelajaran baca, tulis, dan hitung di pendidikan anak usia dini bukan hal terlarang apabila diterapkan secara benar sesuai prinsip tumbuh kembang anak. Fokus pemelajaran ditujukan kepada pengembangan minat belajar, kegemaran membaca, dan kemampuan memahami makna cerita ataupun teks, tidak sekadar melafalkan bunyi kata.
Hal itu menjadi kesepakatan di dalam diskusi ”Siapkah PAUD Menyiapkan Anak Siap Sekolah” di Jakarta, Kamis (16/5/2019). Diskusi itu diadakan oleh Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) dengan mengundang para guru pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD).
Permasalahan yang dikemukakan guru-guru PAUD adalah kebijakan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 146 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 untuk PAUD yang menekankan agar anak bermain sambil belajar. Perkembangan motorik, afektif, sosial, dan kognitif harus berjalan beriringan guna mengembangkan pemahaman anak terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar. Guru-guru menerapkan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) sebagai bagian dari pendidikan yang holistik, bukan konservatif, seperti memaksa anak untuk duduk, menghafal huruf, angka, dan menuliskannya.
Namun, proses ini sering berbenturan dengan kenyataan ketika anak-anak hendak masuk SD. Guru-guru PAUD mengungkapkan, masih ada SD yang menuntut anak-anak sudah lancar calistung ketika masuk ke kelas I. Ditemukan juga kasus guru yang memarahi anak karena tidak bisa calistung. Hal ini mengakibatkan orangtua masih mencari PAUD yang mengajar calistung secara konservatif.
Salah satu pendiri PSPK yang juga pakar pendidikan, Itje Chodidjah, menjelaskan penelitian PSPK di SD-SD di Batu dan Probolinggo, Jawa Timur. ”Anak-anak yang diajar calistung konservatif ketika PAUD dan TK memang pada awal masuk SD tampak pintar dan menguasai materi pelajaran. Namun, ketika melanjutkan di kelas III, mereka mentok,” tuturnya.
Anak-anak yang diajar calistung konservatif ketika PAUD dan TK memang pada awal masuk SD tampak pintar dan menguasai materi pelajaran. Namun, ketika melanjutkan di kelas III, mereka mentok.
Ia menerangkan, anak-anak tersebut lancar melafalkan kata dan kalimat. Setelah itu, mereka diminta membaca paragraf singkat. Walaupun dalam pelafalan tidak masalah, mereka ternyata tidak mengerti isi paragraf tersebut. Hal ini karena calistung konservatif hanya memerhatikan kemampuan lisan anak, bukan mengembangkan pemaknaan. Anak-anak yang dipaksa belajar calistung konservatif pada usia dini akan mencapai titik jenuh lebih awal sehingga sukar melanjutkan ke materi yang lebih kompleks.
Menyenangkan
Kepala PAUD Bintang di Jakarta, Rosalina Sinaga, membagi pengalamannya mengajar calistung kepada anak-anak. Caranya ialah mengemas semua ke dalam permainan. Dimulai dengan membuat ruang kelas yang secara visual merancang anak, misalnya abjad A diasosiasikan dengan gambar benda-benda berawalan huruf itu.
Pemelajaran kata dilakukan dengan meminta anak menggambar ataupun membuat prakarya. Setelah itu, guru mengajak anak berdiskusi bentuk dan nama benda yang mereka buat serta komponen abjadnya.
Prinsip calistung terintegrasi dan menyenangkan juga dilakukan Reading Bugs, sebuah komunitas membaca nyaring. Mereka melatih orangtua dan guru agar rutin membacakan buku untuk anak-anak dengan suara nyaring dan jika bisa menggunakan berbagai nada dan ragam suara untuk mengekspresikan tokoh yang berbeda-beda dalam cerita.
”Kami menemukan bahwa minat anak belajar membaca adalah karena setiap kali melihat buku selalu memunculkan ingatan positif orangtua dan guru mendongeng untuk mereka. Buku bukan hal yang menakutkan bagi anak,” kata Ketua Komunitas Reading Bugs Roosie Setiawan.
Kami menemukan bahwa minat anak belajar membaca adalah karena setiap kali melihat buku selalu memunculkan ingatan positif orangtua dan guru mendongeng untuk mereka.
Kebiasaan dibacakan secara nyaring ini memicu anak untuk mencari sendiri bahan-bahan bacaan baru dan mulai membaca mandiri. Orangtua dan guru bertindak sebagai pengawas guna memastikan materi tersebut layak untuk usia anak.
Dalam diskusi itu, peserta yang merupakan guru-guru SD negeri menjelaskan bahwa dengan sistem zonasi tidak ada lagi ujian masuk SD, termasuk calistung. Syarat masuk SD adalah usia anak pada tahun pelajaran itu genap 7 tahun, berdomisili di sekitar sekolah, dan memiliki surat keterangan sudah ataupun belum diimunisasi.
Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo mengatakan, dari segi kebijakan, pemerintah sudah semakin membaik karena semakin banyak yang mengimbau guru untuk mengembangkan kreativitas dalam mengajar dan mencari materi pemelajaran. Tantangan nomor satu ialah mengajak semua guru untuk mengubah persepsi mengenai belajar tidak lagi menghafal, tetapi mengembangkan nalar dan wawasan secara terintegrasi di semua jenjang sekolah.