Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal. Peraturan yang diundangkan pada 23 April 2019 tersebut masih dinilai longgar dan minim kontribusi terhadap upaya perbaikan kualitas udara.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal. Peraturan yang diundangkan pada 23 April 2019 tersebut masih dinilai longgar dan minim kontribusi terhadap upaya perbaikan kualitas udara.
Meski di sisi lain, peraturan menteri LHK itu diapresiasi karena memasukkan parameter emisi merkuri (Hg). Dalam pemantauan pembangkit listrik tenaga uap juga diperintahkan untuk memasang sistem pemantau emisi (CEMS) secara daring yang terhubung ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) paling lambat pada 23 April 2021 mendatang.
Dalam diskusi terkait Peraturan Menteri LHK No 15/2019 yang diadakan Greenpeace Indonesia dan Nexus3/Balifokus serta menghadirkan Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK Dasrul Chaniago, Rabu (15/5/2019), di Jakarta, Greenpeace mempertanyakan pemakaian kalimat ”dibangun setelah berlakunya peraturan ini”.
Kalimat itu dinilai multitafsir, padahal kunci penerapan aturan itu ada pada pembagian kriteria ”dibangun” yang bisa berarti masuk tahap perencanaan, kontrak, berizin lingkungan, peletakan batu pertama, atau konstruksi.
Dasrul Chaniago mengatakan, kata ”dibangun” itu merujuk pada kontrak. Dengan demikian, pembangkit listrik tenaga termal yang terikat kontrak sebelum peraturan menteri LHK diundangkan mengikuti pengaturan kriteria pertama. Sebaliknya, pembangkit listrik tenaga termal baru yang direncanakan/terikat kontrak setelah aturan itu diundangkan mengikuti pengaturan kriteria kedua.
Kedua kriteria ini berbeda batasan baku mutu emisinya. Baku mutu kriteria pertama pada pembangkit listrik tenaga termal berbahan bakar batubara (PLTU), misalnya pada sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx) masing-masing 550 mg/Nm3 dan partikulat debu (PM) 100 mg/Nm3, sedangkan pada kriteria kedua SO2 dan NOx masing-masing 200 mg/Nm3 dan PM 50 mg/Nm3.
Sangat longgar
Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya mengatakan, baku mutu emisi PLTU ini sangat longgar dibandingkan PLTU di China yang pada tahun 2020 ditetapkan memiliki baku mutu emisi paling tinggi SO2 sebesar 50 mg/Nm3, NOx 35 mg/Nm3, dan PM 10. Ia meragukan permen LHK ini dapat memperbaiki kualitas udara secara signifikan.
Apalagi, merujuk penjelasan Dasrul atas kata ”dibangun” mengacu pada kontrak pembangunan pembangkit listrik, mayoritas PLTU batubara di Jawa-Bali masih terikat pada baku mutu emisi yang terlemah (kategori I), yaitu 61-68 unit PLTU atau 86-98 persen dari total kapasitas PLTU di Jawa-Bali. Selanjutnya, hanya sedikit PLTU batubara yang terikat pada BME yang lebih ketat (kategori 2), yaitu 1-7 unit PLTU atau 2-14 persen dari total PLTU batubara di Jawa-Bali.
”Artinya, business as usual, ada permen LHK ini, tetapi dampak pada perbaikan kualitas udara sangat kecil, kalau tidak mau dikatakan tidak ada,” katanya.
Artinya, business as usual, ada permen LHK ini, tetapi dampak pada perbaikan kualitas udara sangat kecil, kalau tidak mau dikatakan tidak ada.
Analis senior Greenpeace Air Pollution Unit, Lauri Myllyvirta, mengatakan, pemberlakuan permen LHK ini tak membebaskan Jakarta dari dampak kematian dini akibat emisi PLTU batubara di sekelilingnya yang sedang dibangun ataupun direncanakan beroperasi. Ia menaksir, 7.400 kematian dini berpotensi terjadi.
”Jakarta akan menjadi ibu kota negara di dunia yang dikelilingi proyek PLTU batu bara terbanyak, selain saat ini dikelilingi PLTU batubara berjumlah besar,” katanya. Permodelan polusi udara menunjukkan, sekitar 5.900 kematian dini per tahun bisa dihindari dengan mewajibkan semua PLTU di sekitar Jakarta untuk mematuhi batas emisi sebanding di China, Jepang, Korea Selatan, dan Eropa.
Dasrul Chaniago mengatakan, permen LHK itu lebih ketat daripada peraturan sebelumnya yang berusia 11 tahun. Peraturan ini di masa mendatang masih bisa diperketat karena mengikuti teknologi dan ilmu pengetahuan. ”Yang penting ada kemajuan dulu, kemudian nanti silakan dikritik,” katanya.
Terkait keterbukaan informasi yang meminta CEMS dibuka ke publik, ia mengatakan, hal itu pada prinsipnya bisa. Namun, detailnya masih akan dibahas terlebih dahulu. Jadi, CEMS dipikirkan sejak dua tahun lalu untuk mempermudah pemantauan dan pengawasan.
Fajri, peneliti Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), mempertanyakan, Permen LHK No 15/2019 tak lagi mewadahi kewenangan gubernur untuk menetapkan baku mutu emisi lebih ketat atau menambah parameter baku mutu emisi seperti peraturan sebelumnya. Itu telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.