Harga tiket pesawat yang tinggi sejak awal tahun ini membuat masyarakat, sebagai konsumen, riuh. Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menurunkan tarif batas atas, yang berlaku mulai 15 Mei 2019, khusus untuk pesawat bermesin jet. Besaran penurunan tarif bervariasi, berkisar 12-16 persen. Namun, harga tiket sebagian besar rute akan turun 15 persen.
Pemerintah menurunkan harga tiket dengan sejumlah pertimbangan, antara lain harga tiket yang tinggi berdampak terhadap inflasi. Pertimbangan lain, harga tiket pesawat yang tinggi membuat sejumlah daerah tujuan pariwisata sepi wisatawan.
Pemerintah juga berani menurunkan tarif batas atas karena melihat harga avtur cenderung turun, tingkat okupansi pesawat yang membaik, dan mekanisme operasional di bandara sudah baik. Dengan semua kondisi itu, tingkat ketepatan waktu penerbangan juga membaik. Maka, operasionalisasi maskapai lebih efisien.
Penurunan tarif batas atas ini membuat maskapai gusar. Kondisi mereka sudah berat karena margin keuntungan industri penerbangan di seluruh dunia tipis. Dengan penurunan tarif batas atas, maskapai akan lebih terseok-seok.
Penurunan tarif batas atas juga membuat maskapai tidak bisa fleksibel. Sebab, beberapa bulan lalu, pemerintah telah menaikkan tarif batas bawah dari 30 persen menjadi 35 persen dari tarif batas atas. Artinya, maskapai hanya boleh menjual tiket paling murah sebesar 35 persen dari tarif batas atas. Akibatnya, maskapai tidak bisa luwes, tidak bisa memberikan harga rendah saat musim sepi penumpang dan harga tinggi saat musim ramai penumpang. Padahal, fleksibilitas seperti ini sangat menolong maskapai menjaga tingkat keterisian.
Margin yang tipis membuat maskapai harus mencari sumber pendapatan baru. Ada yang mengenakan bagasi berbayar, menjual makanan di pesawat, bekerja sama dengan penyedia layanan Wi-Fi gratis, dan bekerja sama dengan laman pasar dalam jaringan untuk menjual barang, dan sebagainya. Jika segala upaya ini berhasil, maskapai memperoleh uang bukan lagi dari bisnis inti, melainkan dari pendapatan lain-lain.
Apabila ditanyakan lebih lanjut, apakah kenaikan harga tiket pesawat membuat masyarakat kesulitan? Siapa sebenarnya konsumen pesawat terbang? Jika dibedah lebih jauh, pengguna pesawat paling besar adalah pemerintah, BUMN, pebisnis, masyarakat, dan wisatawan. Untuk jenis maskapai layanan penuh, pengguna terbanyak adalah pemerintah dan pebisnis. Adapun masyarakat dan wisatawan menggunakan maskapai berbiaya murah.
Saat ini, jumlah penumpang pesawat di Indonesia 100 juta dalam setahun. Namun, jumlah ini tidak mencerminkan jumlah pengguna sebenarnya. Sebab, satu orang bisa bepergian menggunakan pesawat terbang lebih dari satu kali dalam setahun. Ada orang yang telah terbang 60 kali dalam waktu lima bulan, ada juga yang terbang satu kali dalam setahun.
Jika diasumsikan satu orang terbang lima kali dalam setahun, maka sebenarnya hanya ada 20 juta orang yang bepergian menggunakan pesawat. Dari 20 juta itu, diperkirakan lebih banyak yang bepergian untuk kepentingan dinas.
Salah satu risiko dari tarif batas atas yang diturunkan adalah maskapai akan memangkas rute yang dinilai kurang signifikan menyumbang pendapatan bagi perusahaan. Dengan kata lain, rute-rute yang penumpangnya sedikit bisa dihilangkan. Jika itu terjadi, masyarakat yang lagi-lagi menanggung dampaknya. (M Clara Wresti)