JAKARTA, KOMPAS — Menurut dosen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih, neraca perdagangan yang defisit 2,50 miliar dollar AS pada April 2019 merupakan dampak struktur ekspor Indonesia yang masih berbasis komoditas. Oleh sebab itu, neraca perdagangan nasional rentan terkena dampak perang dagang.
Lana menuturkan, perang dagang China dan Amerika Serikat membuat pertumbuhan perekonomian global melambat. Kedua negara tersebut merupakan konsumen komoditas sehingga saat terjadi perang dagang, permintaan negara-negara itu menurun. Hal ini berimbas pada tekanan harga komoditas secara internasional.
Berdasarkan data yang dihimpunnya, Lana memaparkan, rata-rata harga agregat barang ekspor turun 20,66 persen secara tahunan. Sementara, harga agregat barang impor turun 1,89 persen.
Baca juga: Antisipasi Dampak AS-China Memanas
Agar tidak terjebak pada kondisi defisit neraca perdagangan, Lana berpendapat, Indonesia mesti segera beralih ke ekspor berbasis manufaktur.
”Namun, peralihan ini membutuhkan impor bahan baku dan barang modal yang tinggi. Akibatnya, Indonesia mesti menarik investasi bagi industri yang berorientasi ekspor,” katanya.
Selain itu, agar defisit neraca perdagangan tidak menekan neraca transaksi berjalan, Lana mengimbau pemerintah memperkuat ekspor jasa yang sektornya dapat dikelola di dalam negeri. Misalnya, sektor pariwisata. Daya saing pariwisata Indonesia mesti lebih tinggi dari Malaysia dan Thailand.
Senada dengan Lana, Deputi Bidang Koordinasi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir berpendapat, penurunan ekspor merupakan imbas dari anjloknya permintaan global.
”Kami tengah mendorong investasi untuk industri-industri yang memiliki keunggulan komparatif, mayoritas bahan bakunya tersedia di Indonesia, dan sejalan dengan revolusi industri 4.0,” ujarnya. (JUD)