Ketidakpastian perekonomian global akibat perang dagang Amerika Serikat dan China membuat pasar saham dan nilai tukar kian bergejolak. Dampak lebih besar berupa volume perdagangan global yang merosot.
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian perekonomian global akibat perang dagang Amerika Serikat dengan China membuat pasar saham dan nilai tukar kian bergejolak. Dampak lebih besar berupa volume perdagangan global yang merosot.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) meninggalkan posisi 6.000-an pada penutupan perdagangan, Rabu (15/5/2019), menjadi 5.980,885. Sejak awal tahun, IHSG anjlok 3,45 persen.
Adapun nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate melemah ke Rp 14.448 per dollar AS.
Dana Moneter Internasional memperkirakan perekonomian global 2019 tumbuh 3,3 persen, sedangkan Bank Dunia memperkirakan 2,9 persen. Volume perdagangan yang merosot berpengaruh terhadap ekspor.
Akibatnya, seperti disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, ekspor tak mungkin lagi diandalkan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, kata Sri Mulyani, pemerintah mesti menjaga motor penggerak domestik, yaitu konsumsi rumah tangga dan penanaman modal dalam negeri.
”Ekonomi dalam tekanan global yang sangat serius melalui ketidakpastian,” ujarnya di Jakarta.
Sri Mulyani menambahkan, pemerintah dalam tingkat kewaspadaan tinggi karena ada sinyal perang dagang AS-China tidak akan mereda dalam jangka pendek.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, neraca perdagangan April 2019 defisit 2,501 miliar dollar AS. Pada Januari-April 2019, neraca perdagangan defisit 2,564 miliar dollar AS.
Pada periode Januari-April 2019, nilai ekspor 53,2 miliar dollar AS atau turun 9,39 persen dibandingkan dengan Januari-April 2018. Penurunan ekspor tersebut lebih dalam daripada penurunan impor, yakni 7,24 persen. Impor pada Januari-April 2019 sebesar 55,767 miliar dollar AS.
Penurunan impor terjadi pada semua golongan barang, dengan penurunan terbesar pada barang konsumsi, yakni 11,87 persen. Adapun bahan baku/penolong turun 7,08 persen dan barang modal turun 5,39 persen.
Selama ini, bahan baku/penolong dan barang modal digunakan industri dalam negeri untuk berproduksi.
Terjebak
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, menekankan, agar tidak terjebak pada defisit neraca perdagangan, Indonesia mesti segera beralih ke ekspor berbasis manufaktur.
”Namun, peralihan ini membutuhkan impor bahan baku dan barang modal yang tinggi. Indonesia mesti menarik investasi bagi industri yang berorientasi ekspor,” tuturnya.
Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri Indonesia Handito Joewono berpendapat, penurunan ekspor tidak lepas dari tekanan eksternal dan internal. Faktor eksternal terkait kondisi ekonomi global. Di sisi internal, Pemilu 2019 membuat pelaku usaha cenderung menunggu dan melihat perkembangan situasi terkini.
Meski ekspor, ada harapan dari golongan kendaraan dan bagiannya yang nilai ekspornya pada Januari-April 2019 sebesar 2,453 miliar dollar AS atau tumbuh 4,09 persen dibandingkan dengan Januari-April 2018.
Pada 2018, ekspor mobil 346.000 unit atau senilai 4,78 miliar dollar AS. Tahun ini, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto berharap ekspor mobil mencapai 400.000 unit.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah menegaskan, BI terus berupaya menjaga kepercayaan pasar dan masyarakat di tengah tekanan ketidakpastian ekonomi global. ”Caranya dengan mengupayakan stabilitas di pasar valas dan pasar obligasi negara,” ujar Nanang. (KRN/CAS/DIM/JUD/FER)