”Bela Beli Kulon Progo”, Perlawanan Ideologis Hasto Wardoyo (4-Selesai)
Model komplementasi merupakan langkah jitu Bupati Hasto Wardoyo dalam mengembangkan kemandirian ekonomi di wilayah yang dipimpinnya. Stimulus lewat berbagai kebijakan dan program telah mendorong koperasi, usaha menengah, kecil, dan mikro bergerak.
Tomira, batik geblek renteng, dan Airku adalah produk yang dihasilkan dari pemikiran ekonomi komplementer yang menjadikan swadaya masyarakat Kulon Progo menguat.
Tomira, kependekan dari Toko Milik Rakyat, muncul sebagai reaksi atas maraknya toko modern berjejaring (waralaba) yang keberadaannya kerap kali dekat dengan pasar tradisional atau toko-toko tradisional di Kulon Progo. Kondisi itu memicu keresahan dan pro-kontra di kalangan masyarakat, terutama pedagang tradisional.
Baca juga: ”Bela Beli Kulon Progo” Perlawanan Ideologis Hasto Wardoyo (1)
Melihat hal itu, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo mengeluarkan peraturan berupa Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Pasar Tradisional serta Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
Di dalamnya termuat peraturan bahwa toko modern yang berstatus waralaba (seperti Alfamart dan Indomaret) yang keberadaannya berjarak kurang dari 1.000 meter dengan pasar tradisional harus ditutup. Kebijakan itu diberlakukan terhadap 18 toko modern, yaitu Alfamart dan Indomaret, yang sebagian besar melanggar perda.
Namun, alih-alih menutup toko modern, Pemkab Kulon Progo lalu mencari solusi alternatif, yaitu mengajak Alfamart dan Indomaret turut mengimplementasikan program Bela Beli Kulon Progo dengan berpihak pada ekonomi kerakyatan. Mereka tetap berdiri, tetapi bekerja sama dengan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Kabupaten Kulon Progo.
Kesepakatan kemudian dicapai untuk melakukan kerja sama kemitraan dalam mengembangkan pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan koperasi dan UMKM melalui program Toko Milik Rakyat (Tomira). Kesepakatan itu di antaranya gerai yang melanggar dibeli oleh koperasi.
Cara pembelian dilakukan dengan mengangsur dari keuntungan atas omzet penjualan. Keuntungan penjualan setelah dikurangi biaya operasional dan angsuran, sisanya menjadi laba koperasi.
Alih-alih menutup toko modern, Pemkab Kulon Progo lalu mencari solusi alternatif, yaitu mengajak Alfamart dan Indomaret turut mengimplementasikan program Bela Beli Kulon Progo.
Karena menjadi milik koperasi, Tomira berkewajiban menyediakan tempat bagi produk lokal minimal 20 persen. Sementara itu, koperasi berkewajiban mendorong dan memfasilitasi produk lokal anggota atau masyarakat agar masuk ke gerai Tomira.
Sebaliknya, Alfamart atau Indomaret juga berkewajiban memberikan pendampingan kepada koperasi, seperti alih pengetahuan dan mendorong terjadinya hubungan saling menguntungkan serta saling memercayai.
Sebelum adanya Tomira, kapasitas koperasi dalam pengelolaan ritel terbatas, baik dalam manajemen, sistem, maupun pemasaran. Setelah adanya Tomira, hal itu berdampak signifikan terhadap pengembangannya, terutama berkembangnya kualitas koperasi di Kulon Progo dalam menyiapkan produk lokal mereka agar layak dijual di toko modern.
Untuk bisa masuk ke pasar modern, koperasi atau UMKM harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya memiliki nomor pangan industri rumah tangga (P-IRT), tempat produksi yang higienis, dan kemasan yang sesuai standar. Bagi pelaku usaha yang belum memiliki sarana produksi yang higienis, koperasi bisa memberikan pinjaman untuk membangun tempat produksi yang memenuhi standar.
Selain berdampak pada kebanggaan bagi anggota koperasi dapat memiliki toko modern, keberadaan Tomira juga memacu pertumbuhan berbagai macam produk baru yang berstandar (P-IRT, hak kekayaan intelektual, halal MUI, dan sebagainya). Tomira juga menjadi sarana berlatih bagi masyarakat untuk mengelola toko modern dan meningkatkan distribusi pendapatan di daerah.
Baca juga: ”Bela Beli Kulon Progo” Perlawanan Ideologis Hasto Wardoyo (2)
Sampai saat ini ada tujuh koperasi yang mengelola Tomira dari Alfamart, yaitu KSU Koppeneka Wates, KSU Binangun Prima Wates, KSU BMT Giri Makmur Girimulyo, KSU Trijata Wates, KPN Sumber Rejeki Wates, KSU Mitra Prima Daya, dan KSU Legawo Lendah. Selain itu, terdapat dua Tomira yang dikelola dengan sistem modal penyertaan, yaitu Tomira KUD Temon oleh KUD Harapan Temon dan Tomira KUD Sentolo oleh KUD Gangsar Sentolo.
Sejauh ini, untuk produk yang masuk di Tomira, selain barang pabrikan yang disuplai dari perusahaan prinsipal, juga terdapat produk-produk lokal yang dikelola sendiri oleh koperasi, yakni beras lokal, air minum kemasan, dan produk-produk UMKM milik anggota ataupun non-anggota koperasi. Produk-produk itu misalnya cokelat, wingko, telur asin, sari nira gula kristal, abon cabai, kopi, bubuk jahe, gula aren, teh, jamur tiram, rempeyek, keripik belut, dan sambal kering.
Batik geblek renteng
Langkah Pemkab Kulon Progo mendorong pengembangan batik bermotif geblek renteng yang khas daerah itu merupakan upaya yang berdampak positif terhadap pertumbuhan usaha lokal. Lewat Surat Edaran Bupati Kulon Progo Nomor 025/2171 Tanggal 2 Juli 2012 tentang Penggunaan Pakaian Batik Motif Geblek Renteng, ekonomi UMKM di wilayah ini langsung bergerak.
Pemakaian batik geblek renteng meningkat dari 7.416 potong per bulan pada 2012 menjadi 16.255 potong pada tahun berikutnya. Produksi batik yang hanya 2.000 yard per bulan pada 2012 meningkat menjadi 37.000 yard pada 2013. Jumlah perajin meningkat dari 25 kelompok dengan 242 tenaga kerja menjadi 38 kelompok dengan 474 tenaga kerja. Omzet total perajin pun meningkat hampir tiga kali lipat, dari Rp 525.830.000 menjadi Rp 1.401.925.000 per bulan.
Peningkatan itu terjadi lantaran motif batik geblek renteng ditetapkan sebagai seragam semua aparat dan pelajar. Pegawai negeri sipil, kepala desa, perangkat desa, karyawan badan usaha milik daerah, dan siswa-siswi dari TK sampai SLTA di lingkungan Kabupaten Kulon Progo memakainya sebagai salah satu seragam.
Peningkatan itu terjadi lantaran motif batik geblek renteng ditetapkan sebagai seragam semua aparat dan pelajar.
Di tingkat perajin, pemda melakukan pembinaan kepada perajin batik tentang desain, produksi, dan pemasaran. Pemkab Kulon Progo juga mengusahakan agar batik geblek renteng mendapatkan sertifikat hak cipta. Sertifikat hak cipta dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pun didapat pada 1 Agustus 2012.
Pemkab kemudian membentuk koperasi bernama Koperasi Batik Citra Mandiri. Jaminan terhadap perajin pun diperkuat untuk mendukung keberlanjutan usaha dengan keluarnya Surat Edaran Bupati Kulon Progo Nomor 025/2853 Tanggal 30 Mei 2014 tentang Pemakaian PDH Batik Kulon Progo.
Upaya memperluas kecintaan terhadap batik khas Kulon Progo ini juga dilakukan dengan mengadakan lomba batik sekolah saat karnaval Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI 17 Agustus dan acara-acara lain.
Airku
Airku atau Air Kulon Progo merupakan salah satu inovasi Pemkab Kulon Progo lewat BUMD Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirto Binangun. Airku adalah nama produk air minum yang dihasilkan BUMD itu guna memenuhi kebutuhan masyarakat daerah setempat akan air minum. Inovasi itu berdampak cukup besar terhadap pendapatan daerah dan menggerakkan perekonomian kabupaten itu.
Baca Juga: ”Bela Beli Kulon Progo” Perlawanan Ideologis Hasto Wardoyo (3)
Perusahaan Daerah Air Minum Tirto Binangun yang semula hanya memproduksi air untuk mandi diperluas fungsinya mencakup juga menghasilkan air minum dalam kemasan. Bahkan, kini juga mencakup air minum dalam galon. Upaya yang dimulai sejak 2014 ini, selain membuat seluruh kebutuhan konsumsi air minum dalam kemasan di wilayah Kulon Progo terpenuhi, juga menambah pemasukan bagi pemerintah daerah.
Lewat imbauan Pemkab kepada seluruh masyarakat, dinas/instansi pemerintah, ataupun swasta yang ada di Kabupaten Kulon Progo untuk membeli dan mengonsumsi air mineral dalam kemasan Airku, perusahaan daerah ini dengan cepat berkembang.
Awalnya, kemasan yang ditawarkan hanya berupa gelas. Pada 2016, variasi kemasan bertambah, mulai dari botol berukuran 330 mililiter (ml), 600 ml, hingga galon. Saat ini, produksi Airku sudah mencapai 2 juta gelas per bulan dan air galon dengan kapasitas 30 galon per jam. Usaha yang bermodal awal hanya Rp 128 juta ini mengalami kapitalisasi dengan cepat seiring nilai penjualan air yang terus meningkat.
Pada 2018, PDAM Tirta Binangun telah mencatat pendapatan dari air kemasan mencapai Rp 3,5 miliar dengan keuntungan bersih sekitar Rp 350 juta. Ke depan, kapasitas produksi masih dapat ditingkatkan mengingat kebutuhan air minum dalam kemasan di Kulon Progo masih sangat besar, diperkirakan mencapai 6 juta gelas setiap bulan. (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS)