Berupaya Sejahtera di Lahan Rawa
Cuaca mendung ketika Hadrun (35) mengecek kondisi bibit padi yang disemainya, Kamis (2/5/2019). Sawahnya terendam air 1 meter.
Rintik hujan mulai turun. Petani di Jejangkit, Barito Kuala, Kalimantan Selatan, itu pun bergegas meninggalkan sawahnya. ”Banyu (air) masih dalam, masih tiga kilan (jengkal). Harus menunggu banyu sekilan dulu hanyar kawa betanam (baru bisa bertanam) padi,” katanya.
Bibit padi yang disemai Hadrun adalah padi lokal varietas siam karang dukuh. Pada umur 1,5 bulan ini, tingginya lebih dari 30 sentimeter. Anakan padi itu seharusnya sudah bisa dipindahkan ke sawah. Petakan sawah milik Hadrun seluas hampir 1 hektar sudah bersih dan siap ditanami.
”Ini hujan terus, kada kawa dipastikan pabila betanam. Di sini, banyu yang mengatur. Kalau cepat tarikannya (surutnya), cepat juga betanam. Kalau lambat tarikannya, lambat juga betanam. Bisa-bisa imbah (setelah) hari raya (Lebaran) baru betanam,” tuturnya.
Tidak hanya Hadrun yang kewalahan menghadapi air di sawah yang tak kunjung surut. Barak (35) dan Muhid (27), petani lain, juga tak bisa berbuat apa-apa. Lahan pertanian mereka dibiarkan terbengkalai karena air masih dalam.
Sawah milik Barak tampak hijau dipenuhi gulma purun. Tahun lalu, petakan itu hijau karena tanaman padi. Pada Peringatan Hari Pangan Sedunia Ke-38 di Jejangkit, pertengahan Oktober 2018, seremoni panen raya padi di lahan rawa dilakukan di lahan miliknya.
”Sudah ulun (saya) sedot pakai pompa beberapa kali, tapi banyu tetap haja segitu dalamnya karena hujan,” ujar Barak. Petakan sawah milik Barak akhirnya jadi salah satu lokasi memancing favorit. Di situ, orang bisa mendapatkan beberapa jenis ikan lokal, seperti ikan sepat, papuyu, dan haruan (gabus). ”Musim hujan kayak ini, betanam kada kawa, akhirnya maunjun iwak haja (memancing ikan saja),” katanya terkekeh, menertawakan nasib sial bertani di lahan rawa pada musim hujan.
Jejangkit merupakan salah satu sentra pertanian rawa lebak dan pasang surut di Kalsel. Pemprov Kalsel mengalokasikan lahan rawa 4.000 hektar untuk pertanian terpadu dan berkelanjutan. Optimalisasi pemanfaatan lahan rawa lebak dan pasang surut diharapkan bisa menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045.
Tata kelola air
Menurut Barak, persoalan utama bertani di lahan rawa pada musim hujan adalah air. Berlimpahnya air membuat sawah tak bisa ditanami. Meski sudah memasuki Mei, lahan rawa tak kunjung bisa ditanami. Padahal, petani biasanya sudah tanam pada Maret dan panen pada Juli. Padi yang ditanam adalah padi lokal. Produktivitasnya 2,5-3 ton gabah kering panen per hektar.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Wijaya Kusuma, Sodikun, menuturkan, penggunaan pompa untuk membuang air dari sawah ke saluran tersier belum bisa optimal walau disiapkan dua-tiga pompa untuk 1 hektar sawah. ”Tata kelola air harus dibenahi. Harus dibangun sekat kanal,” katanya.
Jika sekat kanal sudah dibangun bagus dan pompa disiapkan, Sodikun yakin tidak ada kendala bercocok tanam padi di lahan rawa. ”Dua kali tanam setahun bukan hal mustahil,” ujarnya.
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalsel Syamsir Rahman memastikan lahan rawa di Jejangkit tetap digarap secara berkelanjutan. Tahun ini, luas lahan yang digarap sekitar 990 hektar dengan mekanisasi pertanian. Ada tujuh kelompok tani yang menggarap. ”Bulan Juni mulai tanam,” ujarnya.
Kembangkan riset
Menurut Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kalsel M Rifqinizamy Karsayuda, uji coba penggunaan lahan rawa lebak dan pasang surut untuk pertanian berulang kali dilakukan, baik oleh petani maupun dengan intervensi pemerintah. Hasilnya belum optimal.
Belum ditemukan formula yang tepat untuk menghadirkan kualitas tanah rawa yang menghasilkan produk pertanian produktif. Pada musim tertentu, bercocok tanam di lahan rawa rentan, yakni rentan kebakaran lahan pada musim kemarau dan rentan kebanjiran pada musim hujan.
”Kami mendorong ada regulasi dan kebijakan khusus dari pemerintah bagi petani yang menggarap lahan rawa. Harus ada riset dan pengembangan penggunaan lahan rawa yang tepat dan komoditas pertanian yang cocok, proses bercocok tanam, termasuk mitigasi risikonya,” kata Rifqi.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pada beberapa kesempatan kunjungan kerja memproyeksikan Kalsel sebagai salah satu lumbung pangan nasional di luar Jawa. Kalsel memiliki potensi lahan rawa seluas 500.000 hektar. Di Kalsel, Kementerian Pertanian menggiatkan program Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani (Serasi).
”Dengan program Serasi, petani bisa untung enam kali lipat karena produktivitas meningkat dari 2 ton jadi 6 ton per hektar. Waktu menanam jauh lebih singkat, dari 25 hari jadi 3 jam. Full mekanisasi. Lahan rawa dimanfaatkan untuk tanaman pangan, hortikultura, perikanan, dan peternakan,” kata Amran optimistis.
Rifqi mengatakan, program Serasi bisa berhasil jika telah dibuktikan dengan riset dan pengembangan. Selama ini, pemerintah lebih banyak kampanye daripada melakukan riset dan pengembangan. Hal itu menimbulkan apatisme di kalangan petani. ”Memang ada panen raya di lahan rawa, tetapi melalui rekayasa yang sangat mahal dan tidak mungkin dilakukan petani,” katanya.
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kalsel mendorong perguruan tinggi untuk meneliti dan membuktikan bahwa lahan rawa layak dijadikan lahan pertanian. Jika bisa dibuktikan, hasilnya akan sangat luar biasa karena lebih dari 60 persen lahan pertanian di Kalimantan adalah lahan rawa. (JUMARTO YULIANUS)